Senin, 27 Februari 2017

Teori Pemungutan Suara Untuk Penyediaan Barang Publik

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Di era globalisasi pada saat ini, kegiatan bidang ekonomi bahkan kegiatan selain bidang ekonomi telah menerima berbagai ide dan kreasi dari berbagai pihak dan kalangan. Ini menjadikan terciptanya pola atau cara dari berbagai pihak dan kalangan tersebut untuk mengeluarkan berbagai jenis tanggapan dan pendapat.
Karena banyaknya berbagai jenis tanggapan dan pendapat baik yang bersifat positif atau negatif, kritik atau saran, pro atau kontra, fakta atau isu, bahkan persuatif atau provokatif memicu lahirnya kata mufakat dan kesepakatan.
Kesepakatan ini menyatukan dan menyimpulkan dari hasil berbagai ide dan pemikiran yang terjadi tersebut. Sebelum kata sepakat ini terwujud maka kita perlu mengetahui langkah-langkah yang dilakukan. Salah satunya melalui proses pemungutan suara (atau biasa disebut voting).
I.2 Perumusan Masalah
            Adapun hal yang perlu kita ketahui dari pemungutan suara ini adalah :
a.       Apa itu pengertian dan latar belakang terjadinya pemungutan suara ?
b.      Bagaimana pemungutan suara itu terjadi ?
c.       Teori-teori apa saja yang digunakan dalam pemungutan suara ?
d.      Kapan pemungutan suara itu dilaksanakan ?
e.       Tujuan dari pemungutan suara itu ?


           
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Pemungutan Suara
            Dalam contoh, jika dalam masyarakat hanya ada dua orang konsumen atau dalam masyarakat kecil pencerminan kesukaan dapat dilakukan dengan proses negosiasi atau tawar menawar, tetapi proses negosiasi tidak dapat dilakukan dalam masyarakat yang besar. Oleh karena itu dalam masyarakat demokratis kesukaan-kesukaan masyarakat dan kesediaan mereka untuk membiayai barang publik harus dilakukan dengan cara pemungutan suara. Namun, dalam negara yang mempunyai sistem pemerintahan diktator, penguasalah yang memutuskan barang dan jasa publik apa dan berapa jumlah yang akan disediakan dan bagaimana cara pembiayaaan barang publik tersebut. Oleh karena itu hasil dari pemungutan suara tergantung dari dua faktor berikut ini :
1.      Distribusi suara di antara para pemilih
2.      Cara penentuan hasil pemungutan suara

Ahli ekonomi yang pertama kali menganalisa pengambilan keputusan dengan cara pemungutan suara adalah Knut Wicksell. Ia berpendapat bahwa proses politik dalam bidang ekonomi sangat penting untuk mencapai alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien. Akan tetapi pemungutan suara dengan cara yang sangat sederhana, yaitu pemungutan suara mayoritas sederhana (simple majority) untuk menunjukkan kesukaan masyarakat terhadap barang-barang dan jasa merupakan cara yang tidak tepat. Sistem pemungutan suara dengan cara satu orang satu suara tidak akan memberi hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat terhadap barang-barang dan jasa merupakan cara yang tidak tepat. Sistem pemungutan suara dengan cara satu orang satu suara tidak akan memberi hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat apabila cara pemungutan suara dilakukan dengan suara mayoritas sederhana, dimana apabila dalam masyarakat terdapat sejumlah M orang maka pemenangnya ditentukan dengan rumus (M/2)+1.
Contohnya, pemerintah akan membangun dam dan diputuskan bahwa setiap orang harus ikut menanggung biaya pembangunan dam tersebut sebesar Rp 5.000.000,00. Dalam jumlah yang sama, masing-masing membayar Rp 5.000,00. Misalkan jumlah pemilih sebanyak 1000 orang terdiri dari 500 orang pedagang. Pemungutan suara dilakukan dengan cara mayoritas sederhana dengan hasil 501 orang setuju dan 499 orang tidak setuju sehingga dam tersebut akan didirikan karena hasil pemungutan suara menyatakan pihak yang setuju lebih banyak daripada pihak yang tidak setuju walaupun perbedaan suara hanya satu orang. Wickell mengatakan bahwa cara ini tidak efisien oleh karena 499 orang juga harus menanggung biaya dam walaupun mereka tidak menginginkan adanya dam tersebut. Jadi para petani yang berkepentingan dengan adanya dam untuk mengairi sawah akan mendukung rencana pembangunan dan pembiayaan dam, sedangkan para pedagang yang tidak berkepentingan dengan adanya dam harus ikut menanggung biaya pembuatan dam tersebut.
II.2. Inefisiensi dan Keterpaksaan
Dalam pemungutan suara dengan sistem mayoritas sederhana terdapat kemungkinan suatau proyek yang dilaksanakan merupakan proyek yang tidak efisien dan beberapa orang dipaksa untuk menerima proyek tersebut walaupun mereka memperoleh manfaat yang sangat kecil dari proyek tersebut sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut :
Pemilih
Biaya
Manfaat
Manfaat Neto
Setuju/Tidak
Adil
10
15
5
Setuju
Bei
10
11
1
Setuju
Surya
10
2
-8
Tidak

30
28
-2


Dari tabel tersebut dilihat bahwa Adil, Bei, dan Surya harus membayar Rp 30,00 untuk membangun suatu proyek, sedangkan hanya Adil dan Bei yang menerima manfaat neto yang positif sehingga mereka menyutujui pembangunan proyek tersebut. Sebaliknya, Surya karena menerima manfaat neto yang negatif tidak menyutujui pembangunan proyek, tetapi karena hanya dia sendiri yang tidak setuju maka proyek tersebut akan dilaksanakan. Proyek tersebut hanya memberikan manfaat sebesar Rp 30,00, sehingga proyek tersebut secara total tidaklah efisien. Orang yang setuju menerima manfaat bersih sebesar 6 sedangkan manfaat neto bagi yang tidak setuju sebesar -8, sehingga yang memperoleh manfaat tidak dapat memberikan kompesasi bagi yang kalah sehingga kondisi pareto optimum tidak tercapai. Karena proyek tersebut disetujui oleh dua orang dan tidak disetujui oleh satu orang saja, maka proyek tersebut akan dilaksanakan dan Surya terpaksa membayar dan menikmati proyek tersebut.
II.3. Teori Wicksell
Menurut Wicksell cara pemungutan dengan suara mutlak 100 persen (unanimous) hasilnya akan sama dengan sistem harga pada pasar persaingan sempurna. Jadi menurut Wicksell penentuan harga untuk barang publik atau barang sosial tidak dapat dilakukan dengan cara sistem pasar pada masyarakat yang jumlahnya besar sehingga harus dilakukan dengan sistem pemungutan suara, dan hanya sistem pemungutan dengan suara mutlak (setuju 100 persen) yang dapat menyamai hasil yang dicapai melalui sistem harga untuk barang swasta. Wicksell menyadari juga bahwa cara pemungutan dengan suara mutlak akan menghambat pelaksanaan perekonomian karena sangat sulit memperoleh suara bulat dalam suatu pemungutan suara, karena itu dari segi praktis ia mengusulkan cara yang kedua yaitu relatif suara, di mana 55/6 suara yang menang.
II.4 Teori Buchanan dan Tullock
            Buchanan dan Tullock juga mengemukakan pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Mereka menganalisa berapa jumlah suara sebaiknya yang menang dalam suatu pemungutan suara.
Foto-0064.jpg
            Kurva SS pada diagram diatas menunjukkan biaya yang  harus dipikul oleh golongan masyarakat yang tidak setuju dengan pembangunan suatu proyek. Apabila jumlah orang yang setuju dengan adanya suatu proyek sebesar satu persen dan proyek tersebut dilaksanakan, maka orang lain yang tidak setuju dengan adanya proyek tersebut harus ikut memikul biaya pembangunan proyek di atas. Ini berarti, biaya bagi orang yang tidak suka (seb esar 99 persen) menjadi sangat tinggi karena biaya ini mencerminkan ketidaksukaan mereka akan proyek yang akan dilaksanakan tersebut.
            Semakin banyak orang yang setuju maka semakin sedikit orang yang tidak setuju sehingga semakin sedikit pula biaya yang mencerminkan  ketidaksukaan orang yang tidak setuju akan adanya proyek tersebut. Pada titik A semua orang setuju  sehingga biaya yang mencerminkan ketidaksenangan akan proyek yang akan dibangun menjadi nol.
            Kurva DD, menunjukkan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan suara setuju akan dibangunnya suatu proyek. Apabila diinginkan lebih banyak suara setuju akan proyek tersebut maka biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan suara yang menyetujui adanya proyek menjadi semakin besar.
II.4 Pilihan Perdasarkan Suara Bulat (Aklamasi)
Cara pemungutan suara dengan suara bulat di mana 100 persen orang setuju akan diadakannya suatu proyek merupakan cara yang paling baik. Ini disebabkan karena cara ini dapat melindungi golongan minoritas dalam suatu masyarakat. Misalnya saja, pemerintah akan melaksanakan proyek pembangunan dam. Dari para pemilih, sebanyak 99 persen penduduk setuju adanya dam tersebut tetapi ada 1 persen penduduk tidak  setuju karena mereka akan tergusur dengan adanya dam tersebut. Dengan cara pemungutan suara yang lain (misalnya dengan system pemungutan suara berdasarkan suara mayoritas), maka proyek tersebut akan tetap dilaksanakan karena suara mayoritas menghendakinya. Tetapi dengan cara aklamasi maka proyek tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada golongan minoritas yang tidak setuju sehingga kepentingan mereka dalam cara pemungutan suara aklamasi ini terjamin. Hanya saja, cara ini sulit untuk dilaksanakan apabila jumlah pemiungut suara besar sekali. Semakin besar atau banyaknya jumlah pemungut suara maka akan semakin sulit tercapai suatu persetujuan secara aklamasi.

II.5 Pilihan Berdasarkan Suara Terbanyak
Melalui cara ini, keputusan diambil apabila jumlah orang yang setuju lebih banyak daripada jumlah orang yang tidak setuju. Sistem ini yang paling sederhana adalah 50 persen plus satu [(n/2)+1], atau system kuorum di mana keputusan dilaksanakan apabila dua pertiga suara [(2/3)n] menyatakan setuju. Misalnya, apabila ada jumlah pemilih sebanyak 100 orang maka suatu proyek akan dilaksanakan apabila 75 orang menyatakan setuju atau paling minimal 51 orang menyatakan setuju untuk dilaksanakan.

II.6 Arrow Paradoks
Sistem pemungutan suara dengan cara mayoritas sederhana sepertinya akan dengan mudah mencapai keputusan. Tetapi Arrow berhasil menunjukkan adanya masalah yang timbul dengan system ini apabila pemungutan suara diadakan untuk menentukan pilihan atas tiga kegiatan atau lebih. Arrow menyebutkan ada 5 syarat yang harus dipenuhi agar pemilihan suara dapat mencapai hasil yang efisien, yaitu hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat yang sebenarnya.
1.      Pilihan harus dilaksanakan secara konsisten. Misalnya ada 3 pilihan X, Y dan Z. Maksud dari syarat yang pertama ini adalah apabila X lebih disukai dari Y; dan Y lebih disukai dari Z maka X harus lebih disukai dari Z
2.      Pilihan alternative (yang kedua) tidak boleh ditekuk dengan berubahnya urut-urutan pilihan yang disukai. Misalnya ada 5 jenis pilihan dengan urut-urutan dari yang disukai sampai yang paling tidak disukai sebagai berikut: X, Y, Z, W, N. Di sini X adalah yang paling disukai dan N adalah yang paling tidak disukai. Ranking dari pilihan  haruslah tidak berubah apabila urut-urutan diubah menjadi Y, X, Z, W, N oleh karena X tetap berada di atas Z, W, dan N
3.      Urut-urutan pilihan tidak boleh berubah apabila satu (atau lebih) pilihan alternative dihilangkan.
4.      Pemilih harus menentukan pilihannya dengan bebas
5.      Penentuan pilihan tidak boleh dilaksanakan secara dictatorial

Tabel 1.1 di bawah menunjukkan satu contoh, di mana masyarakat dari 3 orang pemilih yang harus menentukan pilihan mereka atas 3 jenis proyek pemerintah, yaitu untuk peningkatan keamanan dengan menambah jumlha polisi (P); untuk membangun jalan (J); dan untuk membuat Dam (D). Sistem pemungutan suara dilakukan dengan cara mayoritas sederhana dan hasil pemungutan suara adalah sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Pilihan
Pemilih
I
II
III
Adil (A)
Polisi
Jalan
Dam
Bei (B)
Jalan
Dam
Polisi
Surya (S)
Dam
Polisi
Jalan
Misalkan proyek D dihapuskan, sehingga Adil, Bei dan Surya dihadapkan pada dua pilihan saja, yaitu pembuatan jalan (J) dan jasa polisi (P) seeperti ditunjukkan pada tabel 1.2
Tabel 1.2
Pilihan
Pemilih
P
J
Adil
V
-
Bei
-
V
Surya
V
-
Hasil
2
1
 Adil lebih menyukai jasa polisi (P) daripada pembuatan jalan (J), begitu juga dengan Surya. Sebaliknya, Bei lebih menyukai pembuatan jalan daripada jasa polisi. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel 1.2 di mana jasa polisi mendapat suara lebih banyak daripada pembuatan jalan (J).
Misalkan selanjutnya, bahwa sekarang jasa polisi yag dihapuskan sehingga individu A, B, dan S menghadapi dua pilihan saja, yaitu J dan D. Hasil pemilihan adalah seperti yang disajikan pada tabel 1.3. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa A dan B memilih J dan S memilih  D sehingga pilihan J mendapat suara yang lebih banyak daripada pilihan D.
Tabel 1.3
Pilihan
Pemilih
J
D
Adil
V
-
Bei
V
-
Surya
-
V
Hasil
2
1
Selanjutnya, apabila pilihan J dihapuskan sehingga A, B dan S hanya menghadapi pilihan P dan D, dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa pilihan P hanya  mendapat satu suara dan pilihan D mendapat dua suara.
Tabel 1.4
Pilihan
Pemilih
P
D
Adil
V
-
Bei
-
V
Surya
-
V
Hasil
1
2
Dari tabel 1.2; 1.3; 1.4 dapat kita lihat adanya ketidakkonsistenan atas proyek pemerintah yang dipilih. Proyek  yang dipilih mengalami perubahan dengan hapusnya satu jenis proyek sehingga keadaan tersebut melanggar syarat ketiga yang dikemukakan oleh Arrow. Dalam hal ini kita dapatkan bahwa proyek P lebih disukai daripada proyek J; proyek J lebih disukai daripada proyek D tetapi proyek D lebih disukai dari proyek P yang berarti melanggar syarat yang pertama.
Jadi Arrow menunjukkan bahwa pemilihan dengan system mayoritas sederhana mungkin memberikan hasil yang tidak rasional sehingga akibatnya tidak ada satupun proyek yang diunggulkan dan tidak dapat diputuskan proyek mana yang akan dilaksanakan. Pemungutan suara secara mayoritas sederhana dapat sesuai dengan keinginan pemilih hanya pada keadaan tertentu saja, seperti ditunjukkan pada tabel 1.5
Tabel 1.5







Pemilih
I
II
III
Adil (A)
J
D
P
Bei (B)
P
D
J
Surya (S)
D
P
J

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa apabila pilihan P (polisi) dihilangkan, Adil lebih suka proyek J daripada D, sedangkan Bei dan Surya lebih suka akan proyek D daripada J. Jadi proyek D lebih disukai daripada proyek J. Kalau pilihan proyek D dihilangkan maka 2 orang memilih proyek P sedangkan 1 orang (Adil) memilih proyek J. Berarti lebih banyak orang yang menyukai proyek P daripada proyek J. Kalau pilihan proyek J yang dihilangkan maka 2 orang (Bei dan Surya) memilih proyek P dan Adil memilih proyek D. Jadi di sini kita dapatkan suatu keadaan di mana proyek P lebih disukai daripada proyek D; proyek D lebih disukai daripada proyek J dan proyek P lebih disukai daripada proyek J. Pilihan ketiga orang tersebut konsisten dan mencerminkan urutan kesukaan masyarakat akan ketiga pilihan proyek.

II.7 Pilihan Berdasarkan Pilihan Ganda (Plurality Voting)
            Pemungutan suara berdasarkan pilihan ganda dilakukan dengan memberikan angka berdasarkan urutan kesukaan. Untuk proyek yang paling disukai diberi angka 1 dan nilai yang semakin besar untuk proyek yang tidak disukai. Misalnya ada 3 proyek J,D, dan P sehingga maksimum angka untuk proyek yang paling tidak disukai adalah nilai 3. Proyek yang mendapat nilai terkecil adalah proyek yang menang, sedangkan proyek yang nilai terbesar adalah proyek yang kalah.



Tabel 5.10.
Pilihan Berdasarkan Pilihan Ganda
Proyek
Pemilh
Adil
Bei
Surya
Total nilai
Jalan raya
1
3
3
7
Dam
2
2
1
5
Polisi
3
1
2
6

            Table 5.10. menunjukan hasil pilihan berdasarkan pilihan ganda. Adil sangat menyukai jalan raya dan mempunyai nilai 1 sedangkan bei sangat tidak menyukainya sehingga member nilai. Dari nilai ketiga orang tersebut terlihat bahwa proyek pembangunan dam memperoleh nilai terkecil (5) sehingga proyek tersebutlah yang menang. Sebaliknya proyek pembuatan jalan raya memperoleh nilai terbesar (7) sehingga menjadi proyek yang kalah.
II.8 Teori Demokrasi Perwakilan
            Dalam kenyataan jarang terdapat cara pemungutan suara untuk menetapkan proyek-proyek pemerintah dengan melibatkan seluruh masyarakat. Pada umumnya pemungutan suara dilakukan oleh rakyat melalui wakil-wakil mereka. Dengan system perwakilan seperti itu, adakah jaminan bahwa wakil-wakil rakyat akan memilih proyek-proyek pemerintah sesuai apa yang dikehendaki oleh rakyat? Suatu model mengenai demokrasi perwakilan pertama kali dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dan kemudian dikembangkan oleh Anthony downs. Model ini di dasarkan pada suatu asumsi bahwa masyarakat dan wakil-wakil rakyat bertindak secara rasionil yang didasarkan pada kepentingan pribadi mereka masing-masing. Tujuan para politisi atau wakil-wakil rakyat adalah mempertahankan kedudukan mereka. Ini dapat dilakukan apabila mereka menyarakan kehendak masyarakat yang mereka wakili, sehingga tujuanwakil rakyat adalah memaksimalkan jumlah suara yang memilih. Tujuan rakyat terutam aadalah memaksimalkan manfaat yang diterima dari proyek-proyek pemerintah dan meminimumkan pembayaran pajak. Rakyat akan meilih wakil-wakil yang menurut rakyat dapat mewakili keinginan mereka. Sebaliknya, wakil-wakil rakyat juga berusaha untuk memilih proyek-proyek yang diinginkan oleh rakyat agar rakyat tetap memilih mereka sebagai wakil-wakil rakyat. Jadi menurut teori ini, adanya tujuan untuk memikirkan kepentingan diri masing-masing individu menyebabkan proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan adalah proyek-proyek yang diinginkan oleh rakyat walaupun mereka tidak secara langsung mengadakan pemilihan suara, tetap melalui wakil-wakil mereka.
II.9 Koalisi Dalam Pemungutan Suara
            Banyak proyek pemerintah yang tidak dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu paket yang terdiri dari beberapa proyek. Di sini para pemilih tidak memilih satu-satu proyek yang akan dilaksanakan pemerintah, akan tetapi mereka memilih suatu paket yang terdiri dari beberapa jenis proyek. Dalam hal ini, mungkin para pemilih mengadakan suatu koalisi untuk memenangkan suatu proyek yang disukai. Misalkan dalam suatu pemilihan terdapat 3 orang wakil rakyat yaitu individu I,II, dan III yang memilih empat buah proyek A, B, C, dan D yang dijadikan dua paket, tiap pemilih diberikan angka 100 yang dapat didistribusikan diantara dua proyek dalam satu paket. Hasil pemungutan suara ditunjukan dalam table 5.11.







Tabel 5.11.
Hasil Pemungutan Suara

Kasus 1
kasus 2

I
II
III
I
II
III
Paket 1

Proyek A
1
51
60
1
51
60
Proyek B
99
49
40
99
49
40
Paket 2

Proyek C
51
52
45
51
52
20
Proyek D
49
48
55
49
48
80
Kombinasi

Unggulan A dan C
52
103
105
52
103
80
Kalah B dan D
148
97
95
148
97
120
Kombinasi

Terpilih
(B,D)
(A,C)
(A,C)
(B,D)
(A,C)
(B,D)

Dari table 5.11. pada kasus 1, apabila setiap proyek dipilih secara sendiri-sendiri maka kita akan memperoleh hasil sebagai berikut: antara proyek A dan proyek B, individu I memilih proyek B, sedangkan  individu II dan III memilih proyek A. karena itu proyek A yang menang dalam system pemungutan suara berdasarkan suara terbanyak. Antara proyek B dan proyek D, individu I dan II memlilih proyek C sedangkan individu III memilih proyek D, jadi berdasarkan suara terbanyak proyek C yang menang. Apabila kit kombinasikan antara proyek-proyek yang menang (A dan C) dalam satu paket dan proyek-proyek yang kalah (B dan D) dalam paket lain, maka individu I memilih proyek (B,D) sedangkan individu II dan III memilih proyek (A,C). jadi disini terlihat adanya keserasian dalam dua kali pemilihan. Pemilihan untuk setiap jenis proyek secara sendiri-sendiri memberikan hasil yang sama dengan apabila pemiliha didasarkan pada kombinasi pilihan, yaitu proyek A dan C menang dalam pilihan proyek secara individu maupun  paket unggulan.
Walaupun demikian penggunaan plurality voting dengan cara kombinasi paket unggulan mungkin saja tidak menghasilkan keputusan apa-apa karena adanya arrow’s paradox. Ini dapat dilihat padaa kasus 2 dimana individu III mempunyai skala preferensi yang tinggi pada proyek D sehingga ia memberikan nilai 80 untuk proyek tersebut dan hanya 20 untuk proyek C. kita lihat bahwa apabila pemilihan proyek didasarkan pada system paket, maka pada paket 1 proyek A yang menang, sedangkan pada paket 2 proyek C mendapat suara terbanyak. Kalau proyek-proyek tersebut dikombinasikan dalam satu paket antara proyek-proyek yang menang dan proyek-proyek yang kalah, mak individu I dan II ternyata memilih kombinasi proyek yang kalah (B,D), sedangkan individu II memilih kombinasi proyek yang menang (A,C). karana itu atas dasar suara terbanyak paket dengan kombinasi proyek (B,D) memperoleh suara terbanyak. Disini terlihat adanya ketidakselarasan anta piilihanmproyek secara sendiri-sendiri (proyek A dan C) dan secara kombinasi paket (B,D). jadi preferensi pemilih dapat menimbulkan ketidakselarasan da antara berbagi-bagi proyek pilihan, sehingga dalam pemungutan suara secara mayoaritas dengan kombinasi proyek dan skala preferensi mungkin terjadi voting yang paradox.
II.10 Pertukaran Suara atau Logrolling
            Dalam hal pemilihan suara untuk proyek secara paket, para pemilih dapat mengadakan logrolling. Logrolling merupakan suatu cara bagi pemilih untuk melakukan kolusi diantara para pemilih yang kalah dengan cara mempertukarkan suara agar mereka sama-sama memperoleh keuntungan dengan cara memberikan nilai lebih banyak kepada proyek yang disukai oleh pemilh lain apabila pemilih tersebut memberikan nilai yang lebih besar kepada proyek yang disukainya. Sebagai contoh, pada kasus dua kita lihat bahwa individu I kalah pada proyek B yang sangat disukainya, sedangkan individu III kalah pada proyek D yang sangat disukainya. Dalam hal ini individu I dan III dapat melakukan logrolling, yaitu individu I akan memberikan nilai yang lebih besar pada proyek D apabila individu III bersedia memberikan nilai yang lebih besar pada proyek A. kedua individu tersebut memperoleh kepuasan karena dengan logrolling tersebut maka proyek-proyek yang sangat disukai menjadi pemenang. Dalam proses logrolling ini individu II yang tadinya puas karena proyek-proyek yang disukainya menang (proyek A dan C) berbalik menjadi tidak puas karena sekarang menjadi kalah. Proyek yang menang adalah proyek B dan D.
            Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan proyek-proyek dengan system mayoritas sederhana dapat menimbulakn masalah karena adanya arrow paradox, kecuali pada suatu masyarakat yang sangat homogeny dimana preferensi mereka semuanya sama sehingga dapat dilakukan pemilihan secara aklamasi.
            Dalam dunia nyata, pelaksanaan pemungutan suara banyak dilakukan oleh wakil-wakil rakyat sehingga hasil pemungutan suara tergantung pada kemampuan para politisi dalam melakukan strategi untuk mensukseskan proyek yang dipilih.










BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang teori pemungutan suara untuk penyediaan barang publik maka, dapat diambil kesimpulan yaitu, pemungutan suara berguna sebagai penentu barang apa yang akan dipilih oleh konsumen agar dapat dipasarkan secara publik. Teori-teori para ahli juga mendukung dalam pengambilan sampel pemungutan suara, dengan adanya teori dari beberapa ahli penyediaan barang publik dapat dikendalikan secara efisien karna adanya teori yang nyata tersebut. Pemilihan proyek-proyek dengan system mayoritas sederhana dapat menimbulakn masalah karena adanya arrow paradox, kecuali pada suatu masyarakat yang sangat homogeny dimana preferensi mereka semuanya sama sehingga dapat dilakukan pemilihan secara aklamasi.

3.2. Saran

Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran yang bermanfaat dan dapat mengembangkan teori pemungutan suara untuk penyediaan barang publik agar dapat menjadi lebih baik. Saran kami yaitu agar teori ini dapat diterapkan secara menyeluruh agar setiap penyedia barang dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh para konsumen dan dapat menyelaraskan konsumen secara publik.




           
DAFTAR PUSTAKA

Mangkoesoebroto, Guritno .1993. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE.
Wicaksono, Prasetyanto . 1999. Hukum Pemungutan Suara. Jakarta : Erlangga.




2 komentar:

  1. Numpang Copas Sebagai bahan referensi makalah terima kasih

    BalasHapus
  2. kak itu teori Buchanan dan Tullocknya gambarnya gak bisa kebuka jadi nggak ngerti penjelasan atas teori itu ...

    BalasHapus