BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Di era globalisasi pada saat ini, kegiatan bidang ekonomi bahkan
kegiatan selain bidang ekonomi telah menerima berbagai ide dan kreasi dari
berbagai pihak dan kalangan. Ini menjadikan terciptanya pola atau cara dari
berbagai pihak dan kalangan tersebut untuk mengeluarkan berbagai jenis
tanggapan dan pendapat.
Karena banyaknya berbagai jenis tanggapan dan pendapat baik yang
bersifat positif atau negatif, kritik atau saran, pro atau kontra, fakta atau
isu, bahkan persuatif atau provokatif memicu lahirnya kata mufakat dan
kesepakatan.
Kesepakatan ini menyatukan dan menyimpulkan dari hasil berbagai ide
dan pemikiran yang terjadi tersebut. Sebelum kata sepakat ini terwujud maka
kita perlu mengetahui langkah-langkah yang dilakukan. Salah satunya melalui
proses pemungutan suara (atau biasa disebut voting).
I.2 Perumusan
Masalah
Adapun
hal yang perlu kita ketahui dari pemungutan suara ini adalah :
a.
Apa
itu pengertian dan latar belakang terjadinya pemungutan suara ?
b.
Bagaimana
pemungutan suara itu terjadi ?
c.
Teori-teori
apa saja yang digunakan dalam pemungutan suara ?
d.
Kapan
pemungutan suara itu dilaksanakan ?
e.
Tujuan
dari pemungutan suara itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1.
Pengertian Pemungutan Suara
Dalam
contoh, jika dalam masyarakat hanya ada dua orang konsumen atau dalam
masyarakat kecil pencerminan kesukaan dapat dilakukan dengan proses negosiasi
atau tawar menawar, tetapi proses negosiasi tidak dapat dilakukan dalam
masyarakat yang besar. Oleh karena itu dalam masyarakat demokratis
kesukaan-kesukaan masyarakat dan kesediaan mereka untuk membiayai barang publik
harus dilakukan dengan cara pemungutan suara. Namun, dalam negara yang
mempunyai sistem pemerintahan diktator, penguasalah yang memutuskan barang dan
jasa publik apa dan berapa jumlah yang akan disediakan dan bagaimana cara
pembiayaaan barang publik tersebut. Oleh karena itu hasil dari pemungutan suara
tergantung dari dua faktor berikut ini :
1.
Distribusi
suara di antara para pemilih
2.
Cara
penentuan hasil pemungutan suara
Ahli ekonomi yang pertama kali menganalisa pengambilan keputusan
dengan cara pemungutan suara adalah Knut Wicksell. Ia berpendapat bahwa proses
politik dalam bidang ekonomi sangat penting untuk mencapai alokasi
sumber-sumber ekonomi yang efisien. Akan tetapi pemungutan suara dengan cara
yang sangat sederhana, yaitu pemungutan suara mayoritas sederhana (simple
majority) untuk menunjukkan kesukaan masyarakat terhadap barang-barang dan jasa
merupakan cara yang tidak tepat. Sistem pemungutan suara dengan cara satu orang
satu suara tidak akan memberi hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat
terhadap barang-barang dan jasa merupakan cara yang tidak tepat. Sistem
pemungutan suara dengan cara satu orang satu suara tidak akan memberi hasil
yang mencerminkan kesukaan masyarakat apabila cara pemungutan suara dilakukan
dengan suara mayoritas sederhana, dimana apabila dalam masyarakat terdapat
sejumlah M orang maka pemenangnya ditentukan dengan rumus (M/2)+1.
Contohnya, pemerintah akan membangun dam dan diputuskan bahwa
setiap orang harus ikut menanggung biaya pembangunan dam tersebut sebesar Rp
5.000.000,00. Dalam jumlah yang sama, masing-masing membayar Rp 5.000,00.
Misalkan jumlah pemilih sebanyak 1000 orang terdiri dari 500 orang pedagang.
Pemungutan suara dilakukan dengan cara mayoritas sederhana dengan hasil 501
orang setuju dan 499 orang tidak setuju sehingga dam tersebut akan didirikan
karena hasil pemungutan suara menyatakan pihak yang setuju lebih banyak
daripada pihak yang tidak setuju walaupun perbedaan suara hanya satu orang.
Wickell mengatakan bahwa cara ini tidak efisien oleh karena 499 orang juga
harus menanggung biaya dam walaupun mereka tidak menginginkan adanya dam
tersebut. Jadi para petani yang berkepentingan dengan adanya dam untuk mengairi
sawah akan mendukung rencana pembangunan dan pembiayaan dam, sedangkan para
pedagang yang tidak berkepentingan dengan adanya dam harus ikut menanggung
biaya pembuatan dam tersebut.
II.2.
Inefisiensi dan Keterpaksaan
Dalam
pemungutan suara dengan sistem mayoritas sederhana terdapat kemungkinan suatau
proyek yang dilaksanakan merupakan proyek yang tidak efisien dan beberapa orang
dipaksa untuk menerima proyek tersebut walaupun mereka memperoleh manfaat yang
sangat kecil dari proyek tersebut sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut
:
Pemilih
|
Biaya
|
Manfaat
|
Manfaat Neto
|
Setuju/Tidak
|
Adil
|
10
|
15
|
5
|
Setuju
|
Bei
|
10
|
11
|
1
|
Setuju
|
Surya
|
10
|
2
|
-8
|
Tidak
|
|
30
|
28
|
-2
|
|
Dari
tabel tersebut dilihat bahwa Adil, Bei, dan Surya harus membayar Rp 30,00 untuk
membangun suatu proyek, sedangkan hanya Adil dan Bei yang menerima manfaat neto
yang positif sehingga mereka menyutujui pembangunan proyek tersebut.
Sebaliknya, Surya karena menerima manfaat neto yang negatif tidak menyutujui
pembangunan proyek, tetapi karena hanya dia sendiri yang tidak setuju maka
proyek tersebut akan dilaksanakan. Proyek tersebut hanya memberikan manfaat
sebesar Rp 30,00, sehingga proyek tersebut secara total tidaklah efisien. Orang
yang setuju menerima manfaat bersih sebesar 6 sedangkan manfaat neto bagi yang
tidak setuju sebesar -8, sehingga yang memperoleh manfaat tidak dapat
memberikan kompesasi bagi yang kalah sehingga kondisi pareto optimum tidak
tercapai. Karena proyek tersebut disetujui oleh dua orang dan tidak disetujui
oleh satu orang saja, maka proyek tersebut akan dilaksanakan dan Surya terpaksa
membayar dan menikmati proyek tersebut.
II.3. Teori
Wicksell
Menurut Wicksell cara pemungutan dengan suara mutlak 100 persen
(unanimous) hasilnya akan sama dengan sistem harga pada pasar persaingan
sempurna. Jadi menurut Wicksell penentuan harga untuk barang publik atau barang
sosial tidak dapat dilakukan dengan cara sistem pasar pada masyarakat yang
jumlahnya besar sehingga harus dilakukan dengan sistem pemungutan suara, dan
hanya sistem pemungutan dengan suara mutlak (setuju 100 persen) yang dapat
menyamai hasil yang dicapai melalui sistem harga untuk barang swasta. Wicksell
menyadari juga bahwa cara pemungutan dengan suara mutlak akan menghambat pelaksanaan
perekonomian karena sangat sulit memperoleh suara bulat dalam suatu pemungutan
suara, karena itu dari segi praktis ia mengusulkan cara yang kedua yaitu
relatif suara, di mana 55/6 suara yang menang.
II.4 Teori
Buchanan dan Tullock
Buchanan
dan Tullock juga mengemukakan pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
cara pengambilan keputusan. Mereka menganalisa berapa jumlah suara sebaiknya
yang menang dalam suatu pemungutan suara.
Kurva SS pada
diagram diatas menunjukkan biaya yang
harus dipikul oleh golongan masyarakat yang tidak setuju dengan
pembangunan suatu proyek. Apabila jumlah orang yang setuju dengan adanya suatu
proyek sebesar satu persen dan proyek tersebut dilaksanakan, maka orang lain
yang tidak setuju dengan adanya proyek tersebut harus ikut memikul biaya
pembangunan proyek di atas. Ini berarti, biaya bagi orang yang tidak suka (seb
esar 99 persen) menjadi sangat tinggi karena biaya ini mencerminkan
ketidaksukaan mereka akan proyek yang akan dilaksanakan tersebut.
Semakin banyak
orang yang setuju maka semakin sedikit orang yang tidak setuju sehingga semakin
sedikit pula biaya yang mencerminkan
ketidaksukaan orang yang tidak setuju akan adanya proyek tersebut. Pada
titik A semua orang setuju sehingga
biaya yang mencerminkan ketidaksenangan akan proyek yang akan dibangun menjadi
nol.
Kurva DD,
menunjukkan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan suara setuju akan
dibangunnya suatu proyek. Apabila diinginkan lebih banyak suara setuju akan
proyek tersebut maka biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan suara yang
menyetujui adanya proyek menjadi semakin besar.
II.4 Pilihan Perdasarkan Suara Bulat (Aklamasi)
Cara
pemungutan suara dengan suara bulat di mana 100 persen orang setuju akan
diadakannya suatu proyek merupakan cara yang paling baik. Ini disebabkan karena
cara ini dapat melindungi golongan minoritas dalam suatu masyarakat. Misalnya
saja, pemerintah akan melaksanakan proyek pembangunan dam. Dari para pemilih,
sebanyak 99 persen penduduk setuju adanya dam tersebut tetapi ada 1 persen
penduduk tidak setuju karena mereka akan
tergusur dengan adanya dam tersebut. Dengan cara pemungutan suara yang lain
(misalnya dengan system pemungutan suara berdasarkan suara mayoritas), maka
proyek tersebut akan tetap dilaksanakan karena suara mayoritas menghendakinya.
Tetapi dengan cara aklamasi maka proyek tersebut tidak dapat dilaksanakan
karena ada golongan minoritas yang tidak setuju sehingga kepentingan mereka
dalam cara pemungutan suara aklamasi ini terjamin. Hanya saja, cara ini sulit
untuk dilaksanakan apabila jumlah pemiungut suara besar sekali. Semakin besar
atau banyaknya jumlah pemungut suara maka akan semakin sulit tercapai suatu
persetujuan secara aklamasi.
II.5 Pilihan Berdasarkan Suara Terbanyak
Melalui
cara ini, keputusan diambil apabila jumlah orang yang setuju lebih banyak
daripada jumlah orang yang tidak setuju. Sistem ini yang paling sederhana
adalah 50 persen plus satu [(n/2)+1], atau system kuorum di mana keputusan
dilaksanakan apabila dua pertiga suara [(2/3)n] menyatakan setuju. Misalnya,
apabila ada jumlah pemilih sebanyak 100 orang maka suatu proyek akan
dilaksanakan apabila 75 orang menyatakan setuju atau paling minimal 51 orang
menyatakan setuju untuk dilaksanakan.
II.6 Arrow Paradoks
Sistem
pemungutan suara dengan cara mayoritas sederhana sepertinya akan dengan mudah
mencapai keputusan. Tetapi Arrow berhasil menunjukkan adanya masalah yang
timbul dengan system ini apabila pemungutan suara diadakan untuk menentukan
pilihan atas tiga kegiatan atau lebih. Arrow menyebutkan ada 5 syarat yang
harus dipenuhi agar pemilihan suara dapat mencapai hasil yang efisien, yaitu
hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat yang sebenarnya.
1.
Pilihan
harus dilaksanakan secara konsisten. Misalnya ada 3 pilihan X, Y dan Z. Maksud
dari syarat yang pertama ini adalah apabila X lebih disukai dari Y; dan Y lebih
disukai dari Z maka X harus lebih disukai dari Z
2.
Pilihan
alternative (yang kedua) tidak boleh ditekuk dengan berubahnya urut-urutan
pilihan yang disukai. Misalnya ada 5 jenis pilihan dengan urut-urutan dari yang
disukai sampai yang paling tidak disukai sebagai berikut: X, Y, Z, W, N. Di
sini X adalah yang paling disukai dan N adalah yang paling tidak disukai.
Ranking dari pilihan haruslah tidak
berubah apabila urut-urutan diubah menjadi Y, X, Z, W, N oleh karena X tetap
berada di atas Z, W, dan N
3.
Urut-urutan
pilihan tidak boleh berubah apabila satu (atau lebih) pilihan alternative
dihilangkan.
4.
Pemilih
harus menentukan pilihannya dengan bebas
5.
Penentuan
pilihan tidak boleh dilaksanakan secara dictatorial
Tabel 1.1 di
bawah menunjukkan satu contoh, di mana masyarakat dari 3 orang pemilih yang
harus menentukan pilihan mereka atas 3 jenis proyek pemerintah, yaitu untuk
peningkatan keamanan dengan menambah jumlha polisi (P); untuk membangun jalan
(J); dan untuk membuat Dam (D). Sistem pemungutan suara dilakukan dengan cara
mayoritas sederhana dan hasil pemungutan suara adalah sebagaimana ditunjukkan
pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Pilihan
|
|||
Pemilih
|
I
|
II
|
III
|
Adil (A)
|
Polisi
|
Jalan
|
Dam
|
Bei (B)
|
Jalan
|
Dam
|
Polisi
|
Surya (S)
|
Dam
|
Polisi
|
Jalan
|
Misalkan proyek
D dihapuskan, sehingga Adil, Bei dan Surya dihadapkan pada dua pilihan saja,
yaitu pembuatan jalan (J) dan jasa polisi (P) seeperti ditunjukkan pada tabel
1.2
Tabel 1.2
Pilihan
|
||
Pemilih
|
P
|
J
|
Adil
|
V
|
-
|
Bei
|
-
|
V
|
Surya
|
V
|
-
|
Hasil
|
2
|
1
|
Adil lebih menyukai jasa polisi (P) daripada
pembuatan jalan (J), begitu juga dengan Surya. Sebaliknya, Bei lebih menyukai
pembuatan jalan daripada jasa polisi. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel
1.2 di mana jasa polisi mendapat suara lebih banyak daripada pembuatan jalan
(J).
Misalkan
selanjutnya, bahwa sekarang jasa polisi yag dihapuskan sehingga individu A, B,
dan S menghadapi dua pilihan saja, yaitu J dan D. Hasil pemilihan adalah
seperti yang disajikan pada tabel 1.3. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa A dan
B memilih J dan S memilih D sehingga
pilihan J mendapat suara yang lebih banyak daripada pilihan D.
Tabel
1.3
Pilihan
|
||
Pemilih
|
J
|
D
|
Adil
|
V
|
-
|
Bei
|
V
|
-
|
Surya
|
-
|
V
|
Hasil
|
2
|
1
|
Selanjutnya,
apabila pilihan J dihapuskan sehingga A, B dan S hanya menghadapi pilihan P dan
D, dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa pilihan P hanya mendapat satu suara dan pilihan D mendapat
dua suara.
Tabel
1.4
Pilihan
|
||
Pemilih
|
P
|
D
|
Adil
|
V
|
-
|
Bei
|
-
|
V
|
Surya
|
-
|
V
|
Hasil
|
1
|
2
|
Dari
tabel 1.2; 1.3; 1.4 dapat kita lihat adanya ketidakkonsistenan atas proyek
pemerintah yang dipilih. Proyek yang
dipilih mengalami perubahan dengan hapusnya satu jenis proyek sehingga keadaan
tersebut melanggar syarat ketiga yang dikemukakan oleh Arrow. Dalam hal ini
kita dapatkan bahwa proyek P lebih disukai daripada proyek J; proyek J lebih
disukai daripada proyek D tetapi proyek D lebih disukai dari proyek P yang
berarti melanggar syarat yang pertama.
Jadi
Arrow menunjukkan bahwa pemilihan dengan system mayoritas sederhana mungkin
memberikan hasil yang tidak rasional sehingga akibatnya tidak ada satupun
proyek yang diunggulkan dan tidak dapat diputuskan proyek mana yang akan
dilaksanakan. Pemungutan suara secara mayoritas sederhana dapat sesuai dengan
keinginan pemilih hanya pada keadaan tertentu saja, seperti ditunjukkan pada
tabel 1.5
Tabel 1.5
|
|||
Pemilih
|
I
|
II
|
III
|
Adil (A)
|
J
|
D
|
P
|
Bei (B)
|
P
|
D
|
J
|
Surya (S)
|
D
|
P
|
J
|
Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa apabila pilihan P (polisi) dihilangkan, Adil
lebih suka proyek J daripada D, sedangkan Bei dan Surya lebih suka akan proyek
D daripada J. Jadi proyek D lebih disukai daripada proyek J. Kalau pilihan
proyek D dihilangkan maka 2 orang memilih proyek P sedangkan 1 orang (Adil)
memilih proyek J. Berarti lebih banyak orang yang menyukai proyek P daripada
proyek J. Kalau pilihan proyek J yang dihilangkan maka 2 orang (Bei dan Surya)
memilih proyek P dan Adil memilih proyek D. Jadi di sini kita dapatkan suatu
keadaan di mana proyek P lebih disukai daripada proyek D; proyek D lebih
disukai daripada proyek J dan proyek P lebih disukai daripada proyek J. Pilihan
ketiga orang tersebut konsisten dan mencerminkan urutan kesukaan masyarakat
akan ketiga pilihan proyek.
II.7 Pilihan
Berdasarkan Pilihan Ganda (Plurality Voting)
Pemungutan suara
berdasarkan pilihan ganda dilakukan dengan memberikan angka berdasarkan urutan
kesukaan. Untuk proyek yang paling disukai diberi angka 1 dan nilai yang
semakin besar untuk proyek yang tidak disukai. Misalnya ada 3 proyek J,D, dan P
sehingga maksimum angka untuk proyek yang paling tidak disukai adalah nilai 3.
Proyek yang mendapat nilai terkecil adalah proyek yang menang, sedangkan proyek
yang nilai terbesar adalah proyek yang kalah.
Tabel 5.10.
Pilihan Berdasarkan Pilihan Ganda
Proyek
|
Pemilh
|
|||
Adil
|
Bei
|
Surya
|
Total nilai
|
|
Jalan raya
|
1
|
3
|
3
|
7
|
Dam
|
2
|
2
|
1
|
5
|
Polisi
|
3
|
1
|
2
|
6
|
Table 5.10.
menunjukan hasil pilihan berdasarkan pilihan ganda. Adil sangat menyukai jalan
raya dan mempunyai nilai 1 sedangkan bei sangat tidak menyukainya sehingga
member nilai. Dari nilai ketiga orang tersebut terlihat bahwa proyek
pembangunan dam memperoleh nilai terkecil (5) sehingga proyek tersebutlah yang
menang. Sebaliknya proyek pembuatan jalan raya memperoleh nilai terbesar (7)
sehingga menjadi proyek yang kalah.
II.8 Teori
Demokrasi Perwakilan
Dalam kenyataan
jarang terdapat cara pemungutan suara untuk menetapkan proyek-proyek pemerintah
dengan melibatkan seluruh masyarakat. Pada umumnya pemungutan suara dilakukan
oleh rakyat melalui wakil-wakil mereka. Dengan system perwakilan seperti itu,
adakah jaminan bahwa wakil-wakil rakyat akan memilih proyek-proyek pemerintah
sesuai apa yang dikehendaki oleh rakyat? Suatu model mengenai demokrasi
perwakilan pertama kali dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dan kemudian
dikembangkan oleh Anthony downs. Model ini di dasarkan pada suatu asumsi bahwa
masyarakat dan wakil-wakil rakyat bertindak secara rasionil yang didasarkan
pada kepentingan pribadi mereka masing-masing. Tujuan para politisi atau
wakil-wakil rakyat adalah mempertahankan kedudukan mereka. Ini dapat dilakukan
apabila mereka menyarakan kehendak masyarakat yang mereka wakili, sehingga
tujuanwakil rakyat adalah memaksimalkan jumlah suara yang memilih. Tujuan
rakyat terutam aadalah memaksimalkan manfaat yang diterima dari proyek-proyek
pemerintah dan meminimumkan pembayaran pajak. Rakyat akan meilih wakil-wakil
yang menurut rakyat dapat mewakili keinginan mereka. Sebaliknya, wakil-wakil
rakyat juga berusaha untuk memilih proyek-proyek yang diinginkan oleh rakyat
agar rakyat tetap memilih mereka sebagai wakil-wakil rakyat. Jadi menurut teori
ini, adanya tujuan untuk memikirkan kepentingan diri masing-masing individu
menyebabkan proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan adalah proyek-proyek
yang diinginkan oleh rakyat walaupun mereka tidak secara langsung mengadakan
pemilihan suara, tetap melalui wakil-wakil mereka.
II.9 Koalisi
Dalam Pemungutan Suara
Banyak proyek
pemerintah yang tidak dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu
paket yang terdiri dari beberapa proyek. Di sini para pemilih tidak memilih
satu-satu proyek yang akan dilaksanakan pemerintah, akan tetapi mereka memilih
suatu paket yang terdiri dari beberapa jenis proyek. Dalam hal ini, mungkin
para pemilih mengadakan suatu koalisi untuk memenangkan suatu proyek yang
disukai. Misalkan dalam suatu pemilihan terdapat 3 orang wakil rakyat yaitu
individu I,II, dan III yang memilih empat buah proyek A, B, C, dan D yang
dijadikan dua paket, tiap pemilih diberikan angka 100 yang dapat
didistribusikan diantara dua proyek dalam satu paket. Hasil pemungutan suara
ditunjukan dalam table 5.11.
Tabel 5.11.
Hasil Pemungutan Suara
|
Kasus 1
|
kasus 2
|
||||
|
I
|
II
|
III
|
I
|
II
|
III
|
Paket
1
|
|
|||||
Proyek
A
|
1
|
51
|
60
|
1
|
51
|
60
|
Proyek
B
|
99
|
49
|
40
|
99
|
49
|
40
|
Paket
2
|
|
|||||
Proyek
C
|
51
|
52
|
45
|
51
|
52
|
20
|
Proyek
D
|
49
|
48
|
55
|
49
|
48
|
80
|
Kombinasi
|
|
|||||
Unggulan
A dan C
|
52
|
103
|
105
|
52
|
103
|
80
|
Kalah
B dan D
|
148
|
97
|
95
|
148
|
97
|
120
|
Kombinasi
|
|
|||||
Terpilih
|
(B,D)
|
(A,C)
|
(A,C)
|
(B,D)
|
(A,C)
|
(B,D)
|
Dari table 5.11. pada kasus 1, apabila setiap proyek dipilih secara
sendiri-sendiri maka kita akan memperoleh hasil sebagai berikut: antara proyek
A dan proyek B, individu I memilih proyek B, sedangkan individu II dan III memilih proyek A. karena
itu proyek A yang menang dalam system pemungutan suara berdasarkan suara
terbanyak. Antara proyek B dan proyek D, individu I dan II memlilih proyek C
sedangkan individu III memilih proyek D, jadi berdasarkan suara terbanyak
proyek C yang menang. Apabila kit kombinasikan antara proyek-proyek yang menang
(A dan C) dalam satu paket dan proyek-proyek yang kalah (B dan D) dalam paket
lain, maka individu I memilih proyek (B,D) sedangkan individu II dan III
memilih proyek (A,C). jadi disini terlihat adanya keserasian dalam dua kali
pemilihan. Pemilihan untuk setiap jenis proyek secara sendiri-sendiri
memberikan hasil yang sama dengan apabila pemiliha didasarkan pada kombinasi
pilihan, yaitu proyek A dan C menang dalam pilihan proyek secara individu
maupun paket unggulan.
Walaupun demikian penggunaan plurality voting dengan cara kombinasi
paket unggulan mungkin saja tidak menghasilkan keputusan apa-apa karena adanya
arrow’s paradox. Ini dapat dilihat padaa kasus 2 dimana individu III mempunyai
skala preferensi yang tinggi pada proyek D sehingga ia memberikan nilai 80
untuk proyek tersebut dan hanya 20 untuk proyek C. kita lihat bahwa apabila
pemilihan proyek didasarkan pada system paket, maka pada paket 1 proyek A yang
menang, sedangkan pada paket 2 proyek C mendapat suara terbanyak. Kalau
proyek-proyek tersebut dikombinasikan dalam satu paket antara proyek-proyek
yang menang dan proyek-proyek yang kalah, mak individu I dan II ternyata
memilih kombinasi proyek yang kalah (B,D), sedangkan individu II memilih
kombinasi proyek yang menang (A,C). karana itu atas dasar suara terbanyak paket
dengan kombinasi proyek (B,D) memperoleh suara terbanyak. Disini terlihat
adanya ketidakselarasan anta piilihanmproyek secara sendiri-sendiri (proyek A
dan C) dan secara kombinasi paket (B,D). jadi preferensi pemilih dapat
menimbulkan ketidakselarasan da antara berbagi-bagi proyek pilihan, sehingga
dalam pemungutan suara secara mayoaritas dengan kombinasi proyek dan skala
preferensi mungkin terjadi voting yang paradox.
II.10
Pertukaran Suara atau Logrolling
Dalam hal
pemilihan suara untuk proyek secara paket, para pemilih dapat mengadakan
logrolling. Logrolling merupakan suatu cara bagi pemilih untuk melakukan kolusi
diantara para pemilih yang kalah dengan cara mempertukarkan suara agar mereka
sama-sama memperoleh keuntungan dengan cara memberikan nilai lebih banyak
kepada proyek yang disukai oleh pemilh lain apabila pemilih tersebut memberikan
nilai yang lebih besar kepada proyek yang disukainya. Sebagai contoh, pada
kasus dua kita lihat bahwa individu I kalah pada proyek B yang sangat
disukainya, sedangkan individu III kalah pada proyek D yang sangat disukainya.
Dalam hal ini individu I dan III dapat melakukan logrolling, yaitu individu I
akan memberikan nilai yang lebih besar pada proyek D apabila individu III
bersedia memberikan nilai yang lebih besar pada proyek A. kedua individu
tersebut memperoleh kepuasan karena dengan logrolling tersebut maka
proyek-proyek yang sangat disukai menjadi pemenang. Dalam proses logrolling ini
individu II yang tadinya puas karena proyek-proyek yang disukainya menang
(proyek A dan C) berbalik menjadi tidak puas karena sekarang menjadi kalah.
Proyek yang menang adalah proyek B dan D.
Dari analisa di
atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan proyek-proyek dengan system mayoritas sederhana
dapat menimbulakn masalah karena adanya arrow paradox, kecuali pada suatu
masyarakat yang sangat homogeny dimana preferensi mereka semuanya sama sehingga
dapat dilakukan pemilihan secara aklamasi.
Dalam dunia nyata,
pelaksanaan pemungutan suara banyak dilakukan oleh wakil-wakil rakyat sehingga
hasil pemungutan suara tergantung pada kemampuan para politisi dalam melakukan
strategi untuk mensukseskan proyek yang dipilih.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan tentang teori pemungutan suara untuk penyediaan barang publik
maka, dapat diambil kesimpulan yaitu, pemungutan suara berguna sebagai penentu
barang apa yang akan dipilih oleh konsumen agar dapat dipasarkan secara publik.
Teori-teori para ahli juga mendukung dalam pengambilan sampel pemungutan suara,
dengan adanya teori dari beberapa ahli penyediaan barang publik dapat
dikendalikan secara efisien karna adanya teori yang nyata tersebut. Pemilihan
proyek-proyek dengan system mayoritas sederhana dapat menimbulakn masalah karena
adanya arrow paradox, kecuali pada suatu masyarakat yang sangat homogeny dimana
preferensi mereka semuanya sama sehingga dapat dilakukan pemilihan secara
aklamasi.
3.2.
Saran
Untuk
pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran yang bermanfaat dan
dapat mengembangkan teori pemungutan suara untuk penyediaan barang publik agar
dapat menjadi lebih baik. Saran kami yaitu agar teori ini dapat diterapkan
secara menyeluruh agar setiap penyedia barang dapat mengetahui apa yang
diinginkan oleh para konsumen dan dapat menyelaraskan konsumen secara publik.
DAFTAR PUSTAKA
Mangkoesoebroto,
Guritno .1993. Ekonomi Publik.
Yogyakarta : BPFE.
Wicaksono,
Prasetyanto . 1999. Hukum Pemungutan
Suara. Jakarta : Erlangga.
Numpang Copas Sebagai bahan referensi makalah terima kasih
BalasHapuskak itu teori Buchanan dan Tullocknya gambarnya gak bisa kebuka jadi nggak ngerti penjelasan atas teori itu ...
BalasHapus