BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical
Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi
keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh).
Para ulama dan
praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh
metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Dilihat dari konteks sejarah ada
kecenderungan bahwa metode Qiyas ini berawal dari logika filsafat Ariestoteles
yang berkembang di Yunani kemudian ditransformasi menjadii khazanah kebudayaan
Islam pada masa al-Makmun. Secara metodologi dan operasional, Qiyas
merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang
memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum
(‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu
ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam Syafi’i sebagai perintis
pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang
ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang
valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’
dan ‘illat.
Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal
mencari ‘illat hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki
kualitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk
hukum fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat
profesi, dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi
khalifah sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba akan jelaskan rumusan
qiyas, yang penulis uraikan dengan memaparkan analisis dari aspek
definisi, syarat,rukun dan jenis qiyas yang selanjutnya penulis tuangkan
ke dalam makalah yang berjudul “Qiyas Sebagai Sumber Hukum dalam Muamalah”.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa
pengertian dan rukun qiyas?
1.2.2
Apa
saja pembagian qiyas?
1.2.3
Bagaimana
qiyas dan penerapannya dalam muamalah?
1.2.4
Bagaimana
metode menetapkan illat dalam masalah muamalah?
1.2.5
Bagaimana
contoh penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk
memahami pengertian dan rukun qiyas
1.3.2
Untuk
mengetahui pembagian qiyas
1.3.3
Untuk
memahami qiyas dan penerapannya dalam muamalah
1.3.4
Untuk
memahami metode menetapkan illat dalam masalah muamalah
1.3.5
Untuk
mengetahui contoh penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dan Rukun Qiyas
Qiyas merupakan dasar atau dalil yang keempat setelah Al-Qur’an, sunnah,
dan ijma’[1]. Qiyas
dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur,
menyamakan dan ukuran. [2] Qiyas adalah memutuskan suatu hukum dengan membandingkan masalah lain yang
serupa, dimana ada kesamaan diantara keduanya. Qiyas adalah sesuatu yang
dititipkan Allah kepada akal dan nalar[3]. Seperti menyamakan si A
dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tingggi yang sama, bentuk
tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas
juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur
yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan- persamaan, misalnya saya mengukur baju dengan hasta. [4]
Secara istilah Menurut ulama ushul qiyas berarti menerangkan hukum
sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash.[5]
Menurut Ibnu Qayyim, qiyas adalah timbangan (al-mizan) yang diturunkan
Allah bersama kitab-Nya, dan Dia menjadikan sebagai pembanding dan pendukung
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,
اللَّهُ
الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ ۗ وَمَا
يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيبٌ
“Allah-lah yang
menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan).
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?.” (QS. As-Syura:
17).
Dalam ayat lain dikatakan,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ...
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti
yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan).” (QS. Al-Hadid: 25[6])
Terkait dengan perngertian qiyas yang telah dijelaskan di atas
maka, dipaparkan juga rukun qiyas yang terdiri dari empat rukun yaitu :
2.1.1
Ashal
(al-ashl), yang berarti pokok, yaitu sesuatu peristiwa yang
belum ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal (al-ashl) di sebut
juga maqis ‘alaih ( yang menjadi ukuran), atau musyabbah bih (
tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2.1.2
Fara’ (al-far) yang berarti
cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang
diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau ( yang dibandingkan);
2.1.3
Hukum ashal (al- ashl) yaitu hukum dari ashal
yang telah di tetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan
pada fara’ (al-far’) seandainya ada
persamaan ‘illatnya; dan
2.1.4
‘illat yaitu suatu
sifat yang ada pada ashal (al-ashl) dan sifat itu yang dicari pada fara’
(al-far’), seandainya sifat ada pula pada fara’ maka persamaan
sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu “ haram” hukum ashal berdasarkan
firman Allah SWT:
اان الذ ين يا كلون اموال اليتامى
ظلما انما ياكلون في بطونيم نارا وسيصلون سعيرا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS
an-nisa 4:10)
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama
berakibat, berkurang atau habisnya harta anak yatim, karena itu ditetapkan
hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu
sama-sama haram.
Dan keterangan diatas dapat disimpulkan :
·
Ashal (al-ashl), ialah memakan harta anak
yatim,
·
Fara’ (al-far’), ialah menjual harta anak yatim
·
Hukum ashal (al-ashl), ialah haram.
·
‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan
harta anak yatim.[7]
2.2
Pembagian Qiyas
Qiyas dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
2.2.1.
Qiyas
‘Illat
Qiyas ’illat ialah qiyas yang mempersamakan ashal (al-ashl) dengan fara’ (al-far’) karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat.
Qiyas ‘illat terbagi:
2.2.1.1
Qiyas
jali
ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil
yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari illat yang ditunjukkan oleh
dali itu. Qiyas jali terbagi kepada :
· Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan
adalah ‘illat larangan minum khamar, yang disebut dengan jelas dalam nash.
· Qiyas aulawi
ialah qiyas yang hokum pada fara’ (al-far’)
sebenarnya lebih utama ditetapkan disbanding dengan hokum pada ashal (al-ashl).
Seperti haramnya hokum mengucap kata-kata “ah”
kepada kedua orangtua berdasarkan
firman Allah SWT :
فلا تقل لهما اف
“Maka janganlah ucapkan
kata-kata “ah” kepada kedua orangtua (mu).” (QS al-Isra’ 17:23)
‘Illat ialah menyakiti hati kedua orangtua.
Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati
orangtua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang
diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu
sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding dengan
hukum yang ditetapkan pada ashal( al-ashl).
· Qiyas musawi
ialah hukum
yang ditetapkan pada fara’ (al-far’) sebanding dengan hukum yang ditetapkan
pada ashal (al-ashl), seperti menjual harta anak yatim di qiyaskam kepada
memakan harta anak yatim. ‘Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim. Memakan harta anak yatimhukumnya haram, berdasarkan firman Allah SWT :
ان الذ ين يا كلون اموال اليتامى ظلما
انما ياكلون في بطونيم نارا وسيصلون سعيرا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
kedalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
(QS: an-Nisa’ 4:10)
Karena itu di
tetapkan pula haram hukumnya menjual
harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini Nampak bahwa hukum yang ditetapkan
pada ashal (al-Ashl) sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara’ (
al-far’).
2.2.1.2
Qiyas
Khafi
Ialah qiyas
yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat,
seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas.
‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga
air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini mungkin dapat
digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung
buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang
atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas
adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah
mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung
buas yang berupa tulang atau zat tanduk
2.2.2.
Qiyas Dalalah
Qiyas adalah
ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang
menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti
harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak.
Para ulama yang menetapkan wajib mengqiyaskan kepada harta orang yang telah
baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu
sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi mazhab hanafi, tidak
mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti
shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkankepada orang mukallaf,
termasuk didalamnya orang yang telah baligh Orang yang telah baligh, tetapi
tidak di wajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak
kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat
zakat.
2.2.3.
Qiyas syaibih
Qiyas syaibih ialah qiyas yang fara’ (al-far’)
dapat diqiyaskan kepada dua ashal (al-ashl) yang lebih banyak persamaannya
dengan fara’ ( al-far’), seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada
hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat
pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam
hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya
dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan
sebagainya.[8]
2.3
Qiyas dan Penerapannya dalam Muamalah
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif,
berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang
diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam
pengharamannya[9].
Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan
ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat
ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena
berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang
di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang
jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat
yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan
demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun di antara tokoh-tokoh fikih Islam
kontemporer yang menganut paradigma ini
adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih
Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio,Adiwarman Azwar Karim
(masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam
Alquran tidak membutuhkanpenjelasan dan pembahasan lebih lanjut, karena tidak
mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak mereka ketahui
bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam Q.S Al-Baqarah [2]:278-279
menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah riba, sedikit maupun banyak.
Maka setiap tambahan bagi modal yang disyaratkan atau ditentukan terlebih
dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu semata adalah riba[10].
Adapun Syafi'i Antonio
yang merupakan praktisi dan akademisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait
dengan bunga bank, mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat
terjadinya riba, tapi itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank
tetap riba, sebab sifat umum riba adalah berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman
riba dalam Alquran adalah karena adanya faktor zulm,yaitu memungut
tambahan utang dari pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks
bank adalah niaga(tijârah) untuk mencari keuntungan bersama antara
pihak yang punya modal (investor), pihak yang membutuhkan modal
(debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa.
Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya
dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan
menjadikan bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank[11]. Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan)
di sini amat kecil kemungkinan terjadi sebab masing-masing pihak telah saling
rela dan mengetahui hak serta kewajibannya masing-masing. Dengan konsep seperti
itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara riba dengan
bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba dianggap kelebihan
yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif, sedangkan bunga
bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam rangka,
kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut paradigma ini mengharuskan mereka,
meninggalkan qiyâs dan lebih memilih mengambil metode istihsân sebagai
dasar untuk sampai kepada suatu konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk
dijalankan. Di antara tokoh dan ahli hukum Islam
yang menganut paradigma kontekstual dalam menilai permasalahan bunga bank
adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar Shihab dan M. Dawam Raharjo
(masing-masing adalah ulama fikih dan cendekiawan muslim Indonesia). Demikian
pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout, dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.
2.4
Metode Menetapkan Illat dalam Masalah Muamalah
Masalik al-’illat merupakan
cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam
suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk pada kita adanya ‘illat dalam suatu hukum. adapun
masalik al-‘illat diantaranya ialah
2.4.1
Takhrijul
Manath
Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij merupakan
bentuk mashdar dari kata خرج
– يخرج – تخريج yang berarti mengeluarkan, mengeluarkan dari sesuatu, juga berarti
perbedaan dua warna. Takhrij sebagai mashdar
dari kharraja menunjukkan
bentuk fi’il muta’addi, yang
keluar itu bukanlah substansinya tetapi faktor eksternal, contohnya mengeluarkan sesuatu dan
memintanya keluar berarti menggalinya
dan menuntutnya keluar.
Takhrijul manath (ekspansi) dapat diartikan sebagai usaha
menyatakan ‘illat dengan cara
mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta terhindar
dari sesuatu yang mencatatkan. Takhrijul
al-manath merupakan ijtihad yang usahanya adalah menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan
oleh mujtahid sebelumnya.[12]
Contoh dalam
pencarian’illat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim حَرَامٌ مُسْكِرٍ كُلُّ (setiap yang memabukkan adalah haram)
yaitu sifat memabukkan. Sifat yang memabukkan tersebut menghilangkan akal yang
dituntut syara’ untuk dijaga. Sifat
ini sesuai dengan hukum haramnya setiap yang memabukkan tersebut. Kata “haram”
pada nash dengan kata yang
“memabukkan” diseiringkan.[13]
2.4.2
Tanqihul
Manath
ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada
fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya.
Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai ‘illat.Sedang sifat yang tidak sama
ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat An-Nisa diterangkan bahwa hukuman
pada budak perempuan adalah separoh hukuman orang merdeka, sedang tidak ada
nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah dikumpulkan
sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang sama ialah sifat
kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat
untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang
diberikan kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman yang diberikan
kepada orang yang merdeka.
2.4.3
Tahqiqul Manath
Tahqiqul Manath (identifikasi
masalah), ialah menetapkan ‘illat pada ashal , baik
berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat tersebut disesuaikan dengan ‘illat
pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat
ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat
demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia
mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati
para ulama. Berbeda pendapat ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi
pencuri kain kafan dalam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu
dihukum potong tangan, karena mengambil harta dari tempat penyimpanannya (
kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak menjadikan sebagai ‘illat, karena itu
pencuri kafan tidak potong tangannya[14].
2.5
Contoh Penerapan Qiyas dalam Muamalah Kontemporer
Contoh dari penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer seperti Jualbeli
emas secara tidak tunai adalah
sebuah proses pemindahan hak milik berupa emas yang dianggap sebagai harta atau
barang komoditas kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai salah satu
alat tukarnya yang dibayarkan secara berangsur-angsur dengan tingkat harga atau
angsuran sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak saat melakukan akad[15].
Dengan diqiyaskan dengan nash al-quran dan al hadits sebagai berikut,
·
Firman Allah SWT
QS. al-Baqarah[16]:
275:
… وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا …
"… Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual
beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah
pihak)." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban)
Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i,
dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi SAW bersabda, "(Jual
beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan
sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama
dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu
jika dilakukan secara tunai.[17]"
Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud,
Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi SAW bersabda:
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ...
"(Jual beli) emas
dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
·
Pendapat Ulama
Syaikh 'Ali Jumu'ah, Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau
disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak
lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah
menjadi barang (sil'ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan
pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan
dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan
sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah
saw bersabda: "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan
ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha'ib (tidak diserahkan saat
itu) dengan emas yang
tunai." (HR.
al-Bukhari).
Hadis ini
mengandung 'illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi
di masyarakat. Ketika saat
ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum
berputar (berlaku) bersama dengan 'illatnya, baik ada maupun tiada. Atas dasar
itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat
atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.[18]
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaily, "Demikian juga,
membeli perhiasan dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena
tidak dilakukan penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara
berutang dari pengrajin."
Adapun contoh
yang lain berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, bahwa
beliau memasukkan qiyas dalam bab zakat, ketika ia memerintahkan untuk
mengambil zakat kuda tunggangan yang ternyata nilainya sama dengan harga
seratus ekor unta. Lalu ia berkata,”kita ambil zakat dari 40 kambing, tetapi
kenapa kita tidak mengambil apa-apa dari kuda?” Hal ini diikuti oleh Abu
Hanifah, dan dia mewajibkan zakat kuda dengan syarat-syarat tertentu.
Inilah yang membuktikan dalam kitab fikih
zakat mengqiyaskan gedung-gedung yang disewakan untuk tempat tinggal dan lain
sebagainya dengan tanah pertanian, dengan memakai besarnya biaya gedung,
sehingga qiyas tersebut dibenarkan. Mengqiyaskan gaji dan upah dengan harta
pemberian yang diambil zakatnya oleh Ibnu Mas’ud, Muawiyah dan Umar bin Abdul
Aziz. Karena gaji, upah dan harta pemberian, secara umum sama.[19]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan.
Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum.
Nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final.
Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai.
Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya
qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya
permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum
syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan
maslahah.
Begitu juga halnya dalam kegiatan muamalah, semua tidak terlepas
dari hukum-hukum yang telah ditetatpkan, terutama dalam mencari sulusi-sulusi
dalam pemecahan permasalah ekonomi ummat.
DAFTAR PUSTAKA
Achyar, Gamal
dan Wahyuddin.2014. Ushul Fiqh 1, Fakultas Syari’ah UIN Ar-raniry:
Banda Aceh.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat
al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut:
Mu'assasat al-Risâlah.
__________________. 2001. Fikih Taysir, Metode Praktis MempelajariFikih. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id/2015/05/jual-beli-emas-secara-tidak-tunai.html diakses pada tanggal 1 Mei 2016 jam 16.00
Mas'adi, A Ghufton. 2002. Fiqh Muamalah
Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mufti al-Diyar
al-Mishriyah. 2006. al-Kalim al-Thayyib Fatawa 'Ashriyah. al-Qahirah:
Dar al-Salam.
Saebani, Ahmad. 2008. Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sam, M. Ichwan dkk.
2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Erlangga.
Syarifuddin,
Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana.
[1] Yusuf
Al-Qaradhawi, Fikih Taysir, Metode Praktis MempelajariFikih, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 77.
[3]
Yusuf Al-Qaradhawi, op. Cit. Hlm. 77
[5] Gamal
Achyar dan Wahyuddin, Ushul Fiqh 1, Fakultas Syari’ah UIN Ar-raniry,
Banda Aceh, 2014, hlm. 57.
[6]
Yusuf Al-Qaradhawi, op. Cit. Hlm. 77
[7]
Ibid., hlm. 65-66
[8]
Ibid., hlm. 81-83
[9]
A Ghufton Mas'adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[10]Al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya
al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa
al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
[12] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Kencana,
Jakarta, 2012, hlm. 158
[13] Ibid., hlm, 233
[14]Gamal
Achyar dan Wahyuddin, op. Cit, hlm. 80-81.
[15]http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id/2015/05/jual-beli-emas-secara-tidak-tunai.html
diakses pada tanggal 1 Mei 2016
[17] Ahmad
Hasan, Mata Uang Islami, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.
169.
[18]mufti al-Diyar al-Mishriyah, al-Kalim al-Thayyib
Fatawa 'Ashriyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2006, hlm. 136.
[19] Yusuf
Al-Qaradhawi, op. Cit., hlm. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar