Senin, 27 Februari 2017

QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM MUAMALAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh).
Para ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dilihat dari konteks sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas ini berawal dari logika filsafat Ariestoteles yang berkembang di Yunani kemudian ditransformasi menjadii khazanah kebudayaan Islam pada masa al-Makmun. Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam Syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan ‘illat.
Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba akan jelaskan rumusan qiyas, yang penulis uraikan dengan memaparkan analisis dari aspek definisi,  syarat,rukun dan jenis qiyas yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam makalah yang berjudul “Qiyas Sebagai Sumber Hukum dalam Muamalah”.
1.2         Rumusan Masalah
1.2.1   Apa pengertian dan rukun qiyas?
1.2.2   Apa saja pembagian qiyas?
1.2.3   Bagaimana qiyas dan penerapannya dalam muamalah?
1.2.4   Bagaimana metode menetapkan illat dalam masalah muamalah?
1.2.5   Bagaimana contoh penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer?

1.3         Tujuan
1.3.1   Untuk memahami pengertian dan rukun qiyas
1.3.2   Untuk mengetahui pembagian qiyas
1.3.3   Untuk memahami qiyas dan penerapannya dalam muamalah
1.3.4   Untuk memahami metode menetapkan illat dalam masalah muamalah
1.3.5   Untuk mengetahui contoh penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer




 BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian dan Rukun Qiyas
Qiyas merupakan dasar atau dalil yang keempat setelah Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’[1]. Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. [2] Qiyas adalah memutuskan suatu hukum dengan membandingkan masalah lain yang serupa, dimana ada kesamaan diantara keduanya. Qiyas adalah sesuatu yang dititipkan Allah kepada akal dan nalar[3]. Seperti menyamakan si A  dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tingggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya.  Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan- persamaan, misalnya saya mengukur baju dengan hasta. [4]
Secara istilah Menurut ulama ushul qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.[5]
Menurut Ibnu Qayyim, qiyas adalah timbangan (al-mizan) yang diturunkan Allah bersama kitab-Nya, dan Dia menjadikan sebagai pembanding dan pendukung Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,
اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ ۗ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيبٌ
“Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?.” (QS. As-Syura: 17).
Dalam ayat lain dikatakan,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ...
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan).” (QS. Al-Hadid: 25[6])
Terkait dengan perngertian qiyas yang telah dijelaskan di atas maka, dipaparkan juga rukun qiyas yang terdiri dari empat rukun yaitu :
2.1.1   Ashal (al-ashl), yang berarti pokok, yaitu sesuatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal (al-ashl) di sebut juga maqis ‘alaih ( yang menjadi ukuran), atau musyabbah bih ( tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2.1.2   Fara’ (al-far) yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau ( yang dibandingkan);
2.1.3   Hukum ashal (al- ashl) yaitu hukum dari ashal yang telah di tetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ (al-far’)  seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
2.1.4   ‘illat yaitu suatu sifat yang ada pada ashal (al-ashl) dan sifat itu yang dicari pada fara’ (al-far’), seandainya sifat ada pula pada fara’ maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’  sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu “ haram” hukum ashal berdasarkan firman Allah SWT:
اان الذ ين يا كلون اموال اليتامى ظلما انما ياكلون في بطونيم نارا وسيصلون سعيرا                         
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-nisa 4:10)
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat, berkurang atau habisnya harta anak yatim, karena itu ditetapkan hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dan keterangan diatas dapat disimpulkan :
·      Ashal (al-ashl), ialah memakan harta anak yatim,
·      Fara’ (al-far’), ialah menjual harta anak yatim
·      Hukum ashal (al-ashl), ialah haram.
·      ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.[7]

2.2         Pembagian Qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
2.2.1. Qiyas ‘Illat
Qiyas ’illat ialah qiyas yang mempersamakan  ashal (al-ashl) dengan fara’ (al-far’)  karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
2.2.1.1  Qiyas jali
 ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari illat yang ditunjukkan oleh dali itu. Qiyas jali terbagi kepada :
·      Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamar, yang disebut dengan jelas dalam nash.
·      Qiyas aulawi
 ialah qiyas yang hokum pada fara’ (al-far’) sebenarnya lebih utama ditetapkan disbanding dengan hokum pada ashal (al-ashl). Seperti haramnya hokum mengucap kata-kata “ah”  kepada kedua orangtua berdasarkan  firman Allah SWT :
فلا تقل لهما اف                                                                   
“Maka janganlah ucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orangtua (mu).” (QS al-Isra’ 17:23)
‘Illat ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orangtua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu  sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal( al-ashl).
·      Qiyas musawi
ialah hukum yang ditetapkan pada fara’ (al-far’) sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal (al-ashl), seperti menjual harta anak yatim di qiyaskam kepada memakan harta anak yatim. ‘Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatimhukumnya haram, berdasarkan firman Allah SWT :
ان الذ ين يا كلون اموال اليتامى ظلما انما ياكلون في بطونيم نارا وسيصلون سعيرا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS: an-Nisa’ 4:10)
Karena itu di tetapkan pula  haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini Nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal (al-Ashl) sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara’ ( al-far’).
2.2.1.2  Qiyas Khafi
Ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk
2.2.2. Qiyas Dalalah
Qiyas adalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkan wajib mengqiyaskan kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi mazhab hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkankepada orang mukallaf, termasuk didalamnya orang yang telah baligh Orang yang telah baligh, tetapi tidak di wajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
2.2.3. Qiyas syaibih
Qiyas syaibih ialah qiyas yang fara’ (al-far’) dapat diqiyaskan kepada dua ashal (al-ashl) yang lebih banyak persamaannya dengan fara’ ( al-far’), seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.[8]
2.3         Qiyas dan Penerapannya dalam Muamalah
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya[9]. Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut paradigma ini adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio,Adiwarman Azwar Karim (masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam Alquran tidak membutuhkanpenjelasan dan pembahasan lebih lanjut, karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam Q.S Al-Baqarah [2]:278-279 menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah riba, sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang disyaratkan atau ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu semata adalah riba[10].
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan praktisi dan akademisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank, mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat umum riba adalah berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran adalah karena adanya faktor zulm,yaitu memungut tambahan utang dari pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah niaga(tijârah) untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya modal (investor), pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan menjadikan bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank[11]. Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta kewajibannya masing-masing. Dengan konsep seperti itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba dianggap kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif, sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut paradigma ini mengharuskan mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih mengambil metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk dijalankan. Di antara tokoh dan ahli hukum Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam menilai permasalahan bunga bank adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar Shihab dan M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan cendekiawan muslim Indonesia). Demikian pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout, dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.
2.4         Metode Menetapkan Illat dalam Masalah Muamalah
Masalik al-’illat merupakan cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk pada kita adanya ‘illat dalam suatu hukum. adapun masalik al-‘illat diantaranya ialah
2.4.1   Takhrijul Manath
Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij merupakan bentuk mashdar  dari kata خرج – يخرج – تخريج  yang berarti mengeluarkan, mengeluarkan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua warna. Takhrij sebagai mashdar dari kharraja menunjukkan bentuk fi’il muta’addi, yang keluar itu bukanlah substansinya tetapi faktor eksternal, contohnya mengeluarkan sesuatu dan memintanya keluar berarti menggalinya dan menuntutnya keluar.
Takhrijul manath (ekspansi) dapat diartikan sebagai usaha menyatakan ‘illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencatatkan. Takhrijul al-manath merupakan ijtihad yang usahanya adalah menetapkan hukum terhadap suatu kejadian dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya.[12]
Contoh dalam pencarian’illat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim حَرَامٌ مُسْكِرٍ كُلُّ (setiap yang memabukkan adalah haram) yaitu sifat memabukkan. Sifat yang memabukkan tersebut menghilangkan akal yang dituntut syara’ untuk dijaga. Sifat ini sesuai dengan hukum haramnya setiap yang memabukkan tersebut. Kata “haram” pada nash dengan kata yang “memabukkan” diseiringkan.[13]
2.4.2   Tanqihul Manath
ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai ‘illat.Sedang sifat yang tidak sama ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat An-Nisa diterangkan bahwa hukuman pada budak perempuan adalah separoh hukuman orang merdeka, sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang sama ialah sifat kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
2.4.3   Tahqiqul Manath
Tahqiqul Manath (identifikasi masalah), ialah menetapkan ‘illat pada ashal , baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat tersebut disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dalam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta dari tempat penyimpanannya ( kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kafan tidak potong tangannya[14].
2.5    Contoh Penerapan Qiyas dalam Muamalah Kontemporer
Contoh dari penerapan qiyas dalam muamalah kontemporer seperti Jualbeli emas secara tidak tunai adalah sebuah proses pemindahan hak milik berupa emas yang dianggap sebagai harta atau barang komoditas kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai salah satu alat tukarnya yang dibayarkan secara berangsur-angsur dengan tingkat harga atau angsuran sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak saat melakukan akad[15]. Dengan diqiyaskan dengan nash al-quran dan al hadits sebagai berikut,
·                Firman Allah SWT  QS. al-Baqarah[16]: 275:
… وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 
"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
·                Hadis Nabi SAW,
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi SAW bersabda, "(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.[17]"
Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi SAW bersabda:
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ...
"(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
·                Pendapat Ulama
Syaikh 'Ali Jumu'ah, Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini di mana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil'ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang gha'ib (tidak diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai." (HR. al-Bukhari).
Hadis ini mengandung 'illat bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat. Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena hukum berputar (berlaku) bersama dengan 'illatnya, baik ada maupun tiada. Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.[18]
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaily, "Demikian juga, membeli perhiasan dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh, karena tidak dilakukan penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara berutang dari pengrajin."
Adapun contoh yang lain berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, bahwa beliau memasukkan qiyas dalam bab zakat, ketika ia memerintahkan untuk mengambil zakat kuda tunggangan yang ternyata nilainya sama dengan harga seratus ekor unta. Lalu ia berkata,”kita ambil zakat dari 40 kambing, tetapi kenapa kita tidak mengambil apa-apa dari kuda?” Hal ini diikuti oleh Abu Hanifah, dan dia mewajibkan zakat kuda dengan syarat-syarat tertentu.
 Inilah yang membuktikan dalam kitab fikih zakat mengqiyaskan gedung-gedung yang disewakan untuk tempat tinggal dan lain sebagainya dengan tanah pertanian, dengan memakai besarnya biaya gedung, sehingga qiyas tersebut dibenarkan. Mengqiyaskan gaji dan upah dengan harta pemberian yang diambil zakatnya oleh Ibnu Mas’ud, Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Karena gaji, upah dan harta pemberian, secara umum sama.[19]

  
BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum.
Nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Begitu juga halnya dalam kegiatan muamalah, semua tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah ditetatpkan, terutama dalam mencari sulusi-sulusi dalam pemecahan permasalah ekonomi ummat.











DAFTAR PUSTAKA



Achyar, Gamal dan Wahyuddin.2014. Ushul Fiqh 1, Fakultas Syari’ah UIN Ar-raniry: Banda  Aceh.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah.
__________________. 2001. Fikih Taysir, Metode Praktis MempelajariFikih. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.   
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Mas'adi, A Ghufton. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mufti al-Diyar al-Mishriyah. 2006. al-Kalim al-Thayyib Fatawa 'Ashriyah. al-Qahirah: Dar al-Salam.
Saebani, Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sam, M. Ichwan dkk. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Erlangga.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
















[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Fikih Taysir, Metode Praktis MempelajariFikih, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,      2001, hlm. 77.
[2] Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm.172
[3] Yusuf Al-Qaradhawi, op. Cit. Hlm. 77
[4] Ahmad Saebani, op. Cit. hlm 172
[5] Gamal Achyar dan Wahyuddin, Ushul Fiqh 1, Fakultas Syari’ah UIN Ar-raniry, Banda Aceh, 2014, hlm. 57.
[6] Yusuf Al-Qaradhawi, op. Cit. Hlm. 77
[7] Ibid., hlm. 65-66
[8] Ibid., hlm. 81-83
[9] A Ghufton Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[10]Al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)

[12] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 158
[13] Ibid., hlm, 233
[14]Gamal Achyar dan Wahyuddin, op. Cit, hlm. 80-81.
[16]M. Ichwan Sam, dkk. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, Jakarta: Erlangga, 2014,hlm.413-431
[17] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 169.
[18]mufti al-Diyar al-Mishriyah, al-Kalim al-Thayyib Fatawa 'Ashriyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2006, hlm. 136.
[19] Yusuf Al-Qaradhawi, op. Cit., hlm. 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar