BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tidak
ada siapa yang akan mempertikaikan jika ada yang mengatakan bahawa setiap orang
mahu bekerja atau mendapatkan pekerjaan untuk menjamin kehidupannya. Kalau kita
ambil contoh dari golongan belia, baik yang berpelajaran menengath atau tinggi
sama ada mereka yang gagal dan tidak pernah bersekolah langsung, semuanya
bercita-cita untuk mendapat pekerjaan atau boleh bekerja bagi menampung
keperluan hidupnya sendiri atau keluarganya.
Adakah
bekerja itu boleh dipandang sebagai suatu kewajipan atau tanggungjawab yang
mempunyai tujuan yang lebih luas? Tetapi apakah yang bekerja itu hanya sekadar
untuk menampung dan menjamin kehidupan di dunia ini. Soalan ini perlulah kita
jawab dengan memahami konsep kerja menurut pandangan Islam.
Tenaga kerja sebagai
faktor produksi mempunyai arti yang besar. Karena semua kekayaan alam tidak
berguna bila tidak dieksploitasi oleh manusia dan diolah oleh buruh. Alam telah
memberikan kekayaan yang tidak terhitung, tetapi tanpa usaha manusia semua akan
tersimpan. Banyak Negara di Asia Timur, Timur Tengah, Afrika dan Amerika
Selatan yang kaya akan sumber alam tapi karena mereka belum mampu menggalinya
maka mereka tetap miskin dan terbelakang, oleh karena itu disamping adanya
sumber alam juga harus ada rakyat yang bekerja sungguh-sungguh, tekun dan
bijaksana agar mampu mengambil sumber alam untuk kepentingannya.
tersebutdalam surat Al
Anfaal:
عَلِيمٌسَمِيعٌ اللَّهَ وَأَنَّ بِأَنْفُسِهِمْ مَا يُغَيِّرُوا حَتَّىٰ قَوْمٍ عَلَىٰ أَنْعَمَهَا نِعْمَةً مُغَيِّرًا يَكُ لَمْ اللَّهَ بِأَنَّ ذَٰلِكَ
Artinya: “Demikian
itu karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang
telah dianugerahkan terhadap suatu kaum hingga kaumitu merubah apa yng ada pada
mereka sendiri dan sesungguhnyaAllah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui”. Al
Anfaal:53)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
kerja dalam islam
Kita hidup di dunia
ini tentu tidak terlepas dari satu kata yang namanya "bekerja", dalam
bahasa Arab disebut عمــل. Kata tersebut mengandung
arti yang begitu luas diantaranya beramal, bekerja, berbisnis, perbuatan dst.
Kata yang selalu kita lakukan setiap saat dalam kehidupan ini dengan segala
permasalahannya terkadang melupakan kita kepada makna hakiki dalam bekerja itu
sendiri. Dengan bekerja dan berusaha kita bisa mendapatkan timbal balik berupa
secuil materi yang dapat mencukupi keperluan diri sendiri dan keluarga. Harus
diakui bahwa dalam benak kita sudah tertanam konsep bahwa dengan bekerja atau
berbuat sesuatu harus ada imbalan materi yang sesuai dengan usaha dan pekerjaan
kita tanpa mempertimbangkan pihak lain yang menilai usaha atau pekerjaan kita.
Yang perlu kita cermati adalah Firman Allah Swt dalam surat At-Taubah ayat 105:
Dan Katakanlah:
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut selain
diri kita ternyata ada tiga unsur yang melihat, menilai dan menentukan amal
perbuatan atau pekerjaan kita.Yaitu: Yang pertama Allah Swt sebagai Khaliq yang
menciptakan kita sehingga Dialah Dzat Yang Maha Melihat segala bentuk pekerjaan
fisik dan hati dan paling layak menilai kita, sehingga Dia juga yang
nantinya akan menentukan besar kecilnya balasan yang pantas kita terima baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Yang kedua Rasulullah Saw sebagai utusan Allah yang juga akan
menilai amal perbuatan atau pekerjaan kita yang juga nantinya turut bersaksi di
hadapan Allah Azza waJalla. Yang ketiga Orang-orang mukmin/orang lain juga akan
melihat dan menilai pekerjaan-pekerjaan kita sehingga memberikan reward yang
sesuai dengan pekerjaan kita di dunia dan turut bersaksi tentang amal ibadah
kita dihadapan Allah kelak di akherat.
kebudayaan kerja Islami bertumpu
pada akhlaqul karimah umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai
energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya
dalam koridor jalan yang lurus. Semangat
dirinya adalah minal Allah, fi sabilillah, (dari Allah, dijalan
Allah, dan untuk Allah).
ü Kewajiban
mencari rezeki yang halal:
طَلَبُ
اْلحَلاَ لِ فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ
“Bekerja
mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi.)
ü Ancaman
terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal
أَشَدُّ
االنَّاسِ حَسْرَةٍ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ رَجُلُ كَسَبَ مَالاً مِنْ غَيْرُ
حِلَّةٍ فَذَ خَلَ بِهِ النَّارَ
“Orang yang paling rugi di hari kiamat kelak
adalah orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menyebabkan ia
masuk neraka”. (HR.
Bukhari)
pekerjaan
dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
1. Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian
bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya
sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini diantaranya
tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي
بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل
الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair
bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah
jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat
– lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan
membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian
dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi
kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada
meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau
menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh
kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam
beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun
langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga
memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa
dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk
mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang
jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
2.
Memenuhi
kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim, hal
ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء
إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث
عبدالله ابن عمرو بن العاص
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah
seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga
adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan
kemudian lingkungan yang lebih luas.
3. Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang
bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist
berikut :
Dari Anas, Rasulullah saw
bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih,
lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai
sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak
sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita
membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat
Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai
amal jariyah.
4. Bekerja sebagai wujud penghargaan
terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai
pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan
pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk
bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال
: ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها
فليغرسها".
Dari Anas RA, dari Rasulullah
saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu
terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka
tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim.
B.
Tujuan dan Bentuk Kerja
Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh
tujuan-tujuan yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah
untuk beribadah. Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan
kita dapat makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah, memberi nafkah keluarga,
dan menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik.
“Bahwa Allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka bekerja
keras dalam usaha mencari mata pencaharian”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
“Dari ‘Aisyah (istri Rasulullah), Rasulullah Saw bersabda :
“Seseorang bekerja keras ia akan diampuni Allah”. (HR. Tabrani dan Bukhari.)
Bekerja
dapat dikategorikan sebagai ibadah apabila kita mendahuluinya dengan niat yang
kuat untuk kemaslahatan.
Kerja
yang dinilai ibadah dapat dilihat dari tujuanya:
1.
Bekerja untuk
diri sendiri. Bekerja untuk menjaga kehormatan diri supaya tidak
meminta-minta kepada orang lain. Jika kita bekerja untuk mencukupi kebutuhan
diri (supaya mandiri), maka kerja kita termasuk sebagai ibadah di sisi Allah.
2.
Bekerja untuk
keluarga. Bagi seseorang yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, maka ia termasuk
berada di jalan Allah SWT, seperti yang disinggung Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Salam dalam hadits di atas. Maka, kesungguhan Anda dalam
bekerja dinilai sangatlah penting agar kebutuhan keluarga tercukupi dan demi
kemakmuran keluarga.
3.
Bekerja untuk
masyarakat. Setelah berkontribusi untuk diri sendiri dan keluarga,
tingkatan bekerja selanjutnya adalah bekerja untuk melayani masyarakat. Apa yang dia
kerjakan, akan membawa manfaat bagi masyarakat. Hakikatnya, kita bekerja untuk
memberikan manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, bekerja sebaik-baiknya
untuk masyarakat dapat dinilai sebagai ibadah.
4.
Bekerja untuk
memakmurkan bumi Allah SWT. Orang mukmin
akan tetap berpikir bagaimana caranya untuk bekerja, agar dirinya bisa
bermanfaat bagi orang lain dan bagi kemakmuran bumi Allah. Oleh karena itu,
pekerjaan yang dilakukan dengan tujuan untuk memakmurkan bumi Allah akan
senantiasa diberkahi dan bernilai ibadah.[1]
C.
Kerja dan Tanggung Jawab
Sehubungan
dengan kerja dan tanggung jawab, rasulullah saw. pernah menegaskan ,
“masing-masing kamu adalah pengembala, dan setiap pengembala bertanggung jawab
atas gembalaannya....”. dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa Allah
memberikan tanggung jawab kepada manusia sebagai khalifah di bumi.
Bekerja
demi terselenggaranya “ma’isyah” atau penghidupan yang baik merupakan
kewajiban. Keharusan kerja bagi manusia mencapai tingkat “tugas istimewa”
hingga keengganan mereka untuk bekerja bukan sekedar maksiat yang merugikan
orang yang bersangkutan saja. Kerja disukai oleh Allah dan Rasul-Nya bila kerja
itu dilaksanakan sungguh-sungguh dilandasi niat mencari ridho-Nya.
D.
Hukum Bekerja dan Beretos Kerja Tinggi
Terdapat
sejumlah firman Allah yang berkaitan dengan perintah bekerja kepada orang-orang
yang beriman, antara lain, “Dia yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka
berjalanlah ke berbagai penjuru bumi dan makanlah sebagian dari rizki Allah...”
(QS. Al-Mulk/67:15). Ayat ini mengandung perintah langsung agar manusia giat
bekerja dan menghindari bermalas-malasan. Bekerja untuk memperoleh rizki guna
menunaikan nafkah keluarga adalah sebuah amanah yang harus ditunaikan.
Berdasarkan
kaidah syar’iyyah, “sesuatu amal wajib yang tidak tertunaikan, tidak sah tanpa
dilakukannya sesuatu itu, konsekuensi logisnya sesuatu itu ikut menjadi wajib
hukumnya”. Dengan demikian, bekerja guna memenuhi kebutuhan anak dan keluarga
sebagaimana tersebut di atas hukumnya pun menjadi wajib, kalau tanpa kerja,
amanah berupa anak dalam keluarga akan terlantar, amanah itu lalu tidak dapat
dipenuhi sebagimana mestinya. Islam menempatkan posisi kerja pada posisi
sentral yang berhubungan erat bahkan tidak terpisahkan dari keimanan. Dengan
demikian, hukum bekerja dalam islam adalah setara dengan wajib, manakala
sesuatu yang mensyaratkan merupakan sesuatu yang hukumnya wajib.
E.
Kelayakan terhadap Karyawan
a.
Sistem Kompensasi
Menurut Siagian
(2000) sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para
anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan orgnasisasi memperoleh,
memelihara dan mempekerjakan sejumlah orang yang dengan berbagai sikap dan
perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi.
Menurut Irawan
(2000) Ada tiga sistem kompensasi yang dikenal, yaitu sistem waktu, sistem
prestasi dan sistem kontrak. Pada sistem waktu, kompensasi dibayar dalam waktu
atau periode tertentu, seperti harian, mingguan atau bulanan. Dalam sistem ini
sudah ada ketentuan atau ketetapan dari perusahaan yangbersangkutan mengenai besarnya kompensasi yang akan diterima oleh para karyawan dalam tiap periodenya.
Dalam sistem
prestasi, kompensasi karyawan dibayar oleh perusahaan sesuai dengan tingkat
prestasinya atau tingkat produktifitas kerja. Biasanya diukur dari berapa unit/
besar/ panjang/ helai/ berat yang dihasilkan oleh karyawan dalam waktu yang
telah ditentukan itulah yang dibayar oleh perusahaan.
Sedangkan dalam
sistem kontrak, antara pihak perusahaan dengan calon karyawan diadakan
perjanjian kontrak mengenai bentuk pekerjaan, besarnya kompensasi yang
diterima, waktu pekerjaan, sanksi dan lain-lain. Jadi masing-masing pihak
terikat oleh perjanjian kerja yang mereka buat bersama oleh karena itu mereka
wajib melaksanakan dan tidak boleh mengingkari terhadap apa yang telah mereka
sepakati dalam perjanjian kerja tersebut.
Menurut penulis
dari ketiga sistem kompensasi tersebut, sistem prestasilah yang paling
bijaksana untuk diterapkan di perusahaan, karena sistem ini memenuhi prinsif
keadilan dan kelayakan. Sispa pekerja yang tingkat produktifitas kerjanya
tinggi maka ia akan mendapat kompensasi yang tinggi pula. Sebaliknya pekerja
yang tingkat produktifitasnya rendah akan dapat kompensasi yang rendag pula.
Namun bukan berarti sistem ini tidak punya kelemahan. Tetap saja ada segi-segi
negatifnya, contohnya terhadap pekerja yang sakit atau cuti maka mereka tidak
akan mendapat kompensasi dari perusahaan karena produktifitas
kerjanya nihil.
b.
Faktor-Faktor Penentu Besarnya Kompensasi
Menyangkut
besar kecilnya kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kepada
karyawannya biasanya ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.
Ketersediaan dana perusahaan.
Perusahaan harus bersikap terbuka mengenai kondisi keuangan
perusahaan. Kalau untung katakan untung kalau rugi katakan rugi. Sebab untuk
apa ditutup-tutupi sebab karyawan sekarang sudah pada kritis yang mampu
menghitung kondisi keuangan perusahaan.
2.
Keberadaan serikat buruh.
Keberadaan serikat buruh akan membuat posisi buruh menjadi kuat.
Mereka dapat menyampaikan segala tuntutannya melalui lembaga ini. Dan pihak
perusahaan jangan sampai mengabaikan mereka. Sebab biasanya mereka sangat gigih
memperjuangkan apa yang menjadi hak-haknya.
3.
Produktifitas kerja karyawan.
Semakin tinggi tingkat produktifitas karyawan maka akan semakin
tinggi pula tingkat kompensasi yang diterima oleh karyawan dari
perusahaan.
4.
Pendidikan dan pengalaman karyawan.
Semakin tinggi pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh
karyawan maka semakin besar kompensasi yang harus diberikan perusahaan kepada
mereka.
5.
Biaya hidup.
Idealnya besarnya kompensasi yang diterima oleh karyawan dapat
memenuhi kebutuhan sandang dan pangan mereka dan keluarganya. Oleh karena itu
kenaikan biaya hidup harus diimbangi oleh naiknya kompensasi yang diterima
karyawan.
6.
Kebijakan pemerintah.
Pemerintah biasanya mengeluarkan kebijakan
mengenai masalah ketenagakerjaan, khususnya masalah besarnya kompensasi.
Seperti penentuan besarnya UMR pada tiap-tiap daerah.
c.
Dampak Pemberian Kompensasi
Apakah sistem
kompensasi yang adil merupakan keharusan? ya. Jika organisasi ingin bergerak
dengan kemampuan sepenuhnya yang digerakkan oleh individu/manusia didalamnya,
sistem kompensasi yang adil sudah harus menjadi keharusan/kewajiban utama.
Apa saja yang
bisa diperoleh organisasi dengan sistem kompensasi yang adil? berikut adalah
keuntungannya :
Ø Sistem
kompensasi tersebut mampu diaplikasikan ke dalam setiap tingkat jabatan di
dalam organisasi.
Ø Sistem
memberikan keseimbangan kerja dan kehidupan(work-life balance). Sistem tidak
memberikan hukuman kepada karyawan untuk sesuatu yang diluar kendali, dan juga
tidak akan mengeksploitasi karyawan.
Ø Sistem
kompensasi akan meningkatkan moral kerja karyawan, produktifitas dan kerjasama
antar karyawan, selain memberikan kepuasan kepada karyawan.
Ø Sistem
kompensasi yang adil membantu manajemen dalam memenuhi dan menghadapi aksi
karyawan.
Ø Sistem
kompensasi yang adil membantu penyelesaian yang memuaskan kedua pihak bila
terjadi selisih antara serikat pekerja dan manajemen.
Ø Sistem
kompensasi yang adil memberikan dorongan dan kesempatan bagi karyawan untuk
berkinerja dan memberikan hasil lebih baik dari sebelumnya.
Ø Sistem
kompensasi yang didesain dengan adil dan baik, memberikan dampak positif dalam
efisiensi dan hasil kerja setiap karyawan/individu di dalamnya.
Ø Sistem
kompensasi yang adil mendorong karyawan untuk memberikan kinerja melebihi
standar normal .
Ø Sistem
kompensasi yang adil membantu proses evaluasi jabatan (Job Evaluation), yang
lebih realistis dan dapat dicapai (achievable).
Melihat keuntungan besar dari sistem
kompensasi yang adil seperti uraian diatas, maka sudah menjadi keharusan bagi
organisasi, baik skala kecil sampai besar untuk dapat menerapkan sistem
kompensasi yang adil bagi karyawannya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
tenaga kerja adalah segala usaha dan
ikhtiar yang dilakukan oleh anggota badan atau fikiran untuk mendapatkan
imbalan yang pantas. tenaga kerja adalah segala usaha dan ikhtiar yang
dilakukan oleh anggota badan atau fikiran untuk mendapatkan imbalan yang pantas.
Bekerja bagi umat Islam tentu tidak
hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari
itu, bekerja adalah untuk beribadah. Bekerja akan memberikan hasil. Hasil
inilah yang memungkinkan kita dapat makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah,
memberi nafkah keluarga, dan menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara
baik.
Dalam Firman Allah Swt dalam surat At-Taubah ayat 105 telah ditegaskan dalam hal
bekerja:
Dan Katakanlah:
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali-Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah:
Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat,
CV. Aneka, Solo, 1997
Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut
Al-Quran, PT Al-Husna Zikra, Jakarta 1955
Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan
manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992
Harun Nasution dan Bahtisr Effendi, Hak Asasi
Manusia dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja
Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002
M. Luqman Hakim, Deklarasi Islam tentang
HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar