Senin, 27 Februari 2017

PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property).  Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang jual beli istisna’. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan untuk para pembacanya.

2.      Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
a.       Apakah yang dimaksud dengan jual beli Istishna .......?
b.      Bagaimanakah landasan hukum dari Istishna.....?
c.       Apa sajakah Syarat-syarat serta rukun Istishna ...............?
d.      Bagaimanakah Hukum Istishna itu sendiri.........?

3.      Tujuan Pembelajaran
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menambah, serta mengembangkan pengetahuan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh Muamalah” yang di bimbing oleh ibuk Nurbaety Sofyan.


















PEMBAHASAN
A.    ISTISHNA
1.      Definisi Istishna   
Dalam kitab al-Misbaah dan al-Qaamuus al-Muhith disebutkan bahwa secara bahasa istisna berarti thalabus shun’ah (meminta dibuatkan barang). Maksud dari pembuatan barang di sini adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam membuat barang atau dalam pekerjaannya.
Secara istilah para fuqaha, istisna’ didefenisikan sebagai akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu. Atau dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan dengan seseorang untuk membuat barang tertentu dlam tanggungan. Maksudnya, adalah akad tersebut merupakan akad membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seseorang. Dalam istisna’ bahan baku dan pembuatan dari pengrajin. Jika bahan baku berasal dari pemesan, maka akad yang dilakukan adalah akad ijarah (sewa) bukan istisna’. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa objek akad adalah pekerjaan pembuatan barang saja, karena istisna adalah permintaan pembuatan barang sehingga bentuknya adalah pekerjaan bukan barang. Contohnya : seseorang pemesan (yaitu pembeli atau penyewa) meminta seseorang (yaitu penjual atau pekerja) seperti pengrajin kayu, pandai besi, atau pembuat sepatu dan sebagainya untuk membuatkan barang tertentu dalam bentuk tertentu, seperti alat-alat perlengkapan rumah tangga, perlengkapan toko buku, kursi, perhiasan dan lain sebagainya, dengan harga tertentu jika hal itu telah mejadi kebiasaaan dalam masyarakat, seperti kopiah,khuf (kaos kaki kulit) dan wadah. [1]
Jadi menurut kelompok kami istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani).
Akad istisna tercapai dengan terjadinya ijab dan qabul dari pemesan dan pengrajin. Pembeli disebut sebagai pemesan,sedangkan penjual disebut pengrajin dan barang yang dibuat disebut barang pesanan. Misalnya, jika dua orang sepakat untuk membuat sepatu, wadah,pakaian,perkakas rumah tangga dan sebagainya.
Akad ini menyerupai akad salam (membeli barang dalam tanggungan dengan harga kontan), karena akad ini, merupakan jual beli barang yang tidak ada (ma’duum) saat akad. Dalam akad ditetapkan bahwa barang yang dipesan berada dalam tanggungan pembuat (penjual). Akan tetapi, akad istisna memiliki perbedaan dengan akad salam dari sisi ketidak harusan penyerahan harga barang (modal) secara kontan, penjelasan masa pembuatan atau pun waktu penyerahan. Begitu pula tidak disyaratkan bahwa barang yang di pesan merupakan salah satu barang yang dapat dijumpai di pasar.
Akad istishna’ juga menyerupai akad ijarah (sewa), tetapi memiliki perbedaan dari sisi bahwa pembuatan menyediakan bahan baku dari hartanya.    
2.      Makna akad istishna ; apakah ia merupakan janji atau jual beli ?
Para masyayikh atau fuqaha mazhab hanafi berbeda pendapat dalam mendeskrepsikan akad istishna’ ini apakah ia merupakan bentuk akad bay’ (jual beli), janji uantuk jual beli atau akad ijarah (sewa)? Jika merupakan akad bay’ apakah yang dijual itu adalah barang yang dipesan ataukah pekerjaan yang dilakukan oleh pengrajin ?
Al- hakim asy-syahid al-marwazi, ash-shaffar, muhammad bin salamah dan pengarang kitab al-mantsuur berpendapat bahwa akad istishna adalah janji. Akad ini berubah menjadi akad bay’ (jual beli) dengan saling penyerahan barang dan harga ketika barang yang dipesan selesai dibuat. Oleh karena itu, pengrajin boleh saja tidak mengerjakan pesanan dan ia pun tidak dapat di paksa untuk mengerjakannya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam akad salam. Begitu pula pemesan dapat menolak  barang yang telah dibuat oleh pengrajin dan membatalkannya. Transaksi ini tidak mengikat.
Pendapat yang kuat dalam mazhab hanafi menyatakan bahwa istishna adalah akad jual beli terhadap barang pesanan, bukan  terhadap pengkerjaan pembuatan. Akad ini bukan janji atau akad ijarah atas pekerjaan. Jadi, jika pengrajin memberikan barang yang tidak di buat sendiri olehnya, atau barang tersebut ia buat sebelum teradinya akad tapi sesuai dengan bentuk yang diminta, maka akad atas barang tersebut adalah dibenarkan dalil atas hal itu adalah bahwa muhammad ibnu-hasan rahimullah menyebutkan dalil qiyas dan istishna dalam akad istishna; padahal kedua dalil ini tidak dapat diterapkan dalam janji. juga karena hal itu dibolehkan hanya dalam barang yang umum di pesan pembuatannya oleh masyarakat, bukan yang tidak umum.
Seandainya istisna adalah janji, maka di bolehkan dalam dua jenis barang itu. Akad ini muhammad ibnu hasan namakan jual beli. Ia berkata “jika pemesan melihat barang itu, maka ia dipersilahkan memilih, karena ia telah membeli barang yang belum ia lihat. Di samping karena pembuat memiliki dirham yang ia terima, sehingga jika akad ini adalah janji maka ia tidak mungkin memiliki dirham tersebut. Adanya hak khiyaar bagi kedua pelaku akad tidak menunjukkan bahwa akad tersebut bukan jual beli. Alasannya bahwa dalam jual beli barterr jika kedua pelaku akad masing-masing belum melihat barang milik yang lain, maka keduanya diberi hak khiyaar. Adanya khiyaar ru’yah bagi pemesan adalah karakteristik jual beli, sehingga hal itu menunjukkan bahwa kebolehan akad ini adalah sebagaimana kebolehan akad janji. bentuk akad ini sebagai akad jual beli berimplikasi pada pemaksaan pembuat untuk melaksanakan tugasnya dan barang yang dipesan tidak dapat dikembalikan. Seandainya akad ini adalah janji maka hal itu tidak di wajibkan atasnya”
Abu Said al-Barada’i mengatakan bahwa objek akad (ma’quud alaih) adalah pekerjaan atau proses pembuatan, karena makna istishna’ adalah meminta pembuatan, sehingga merupakan pekerjaan.pendapat yang kuat dalam ijtihad mazhab Hanafi adalah objek akad adalah barang yang dibuat, bukan pekerjaan pembuatannya.  
Al-kasani berkata,”jika dalam akad itu disyaratkan adanya pembuatan maka itu tidak boleh, arena syarat tersebut atas pekerjaan yang terjadi dimasa datang bukan di masa lalu. Pendapat yang benar adalah bahwa objek akad (ma’quud alaih) adalah barang tapi disyaratkan di dalamnya adanya proses pembuatan, karena makna istishna adalah memminta pembuatan barang, sehingga akad yang tidak disyaratkan adanya pembuatan maka tidak dapat disebut sebagai istishna.[2]
Jadi makna istishna menurut kami yaitu transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal . Namun, berbeda dengan jual beli murabahah dimana barang diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna barang diserahkan dibelakang,walaupun uangnya juga sama-sama dibayar cicilan. Jual beli istishna ini hukumnya adalah boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.

B.     Landasan hukum Istishna
Para ulama Hanafiah berpendapat bahwa jika didasarkan pada qiyas dan kaidah umum maka akad istishna tidak boleh dilakukan, karena akad ini mengandung jual beli barang yang tidak ada seperti akad salam. Jual beli barang yang tidak ada adalah tidak dibolehkan berdasarkan larangan nabi SAW untuk menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu, akad ini tidak dapat dikatakan sebagai jual beli, karena merupakan jual beli barang yang tidak ada. Akad ini tidak dapat diubah menjadi akad ijarah (sewa),karena berarti penyewaan terhadap pekerjaan yang dimiliki oleh orang yang di sewa. Akad seperti ini, tidak boleh, karena itu sama saja dengan mengatakan, “Bawalah makanan milikmu dari tempat ini ke tempat itu maka saya akan membayarmu sekian,”atau “Buatlah bajumu menjadi merah maka saya akan membayarmu sekian.” Semua akad ini tidak sah. Pendapat ini diambil pula oleh Zufar, Malik, Syafii’ dan Ahmad. Namun demikian, para ulama tersebut membolehkannya dengan akad istihna’ ini dengan menyamakannya dengan akad salam. Dalam akad istishna’ disyaratkan seluruh syarat yang ada dalam akad salam.
Diantara syarat utamanya adalah menyerahkan seluruh harga barang dalam majelis akad. Ulama Malikiyah membolehkan penundaan penyerahan harga hingga satu atau dua hari. Mereka juga menyatakan bahwa harus ditentukan waktu penyerahan barang pesanan sebagaimana dalam akad salam, jika tidak maka akad itu menjadi rusak. Selain itu, mereka juga mensyaratkan tidak boeh menentukan pembuat barang atau pun barang yang dibuat. Begitu juga syarat-syarat akad salam yang lain. Dengan demikian, akad istishna’ dianggap tidak sah dan batal jika terjadi tiga hal, yaitu tidak ditentukannya waktu penyerahan barang yang dipesan, menentukan pekerjaan yang membuatnya, dan menentukan barang yang dibuat. Karena kalau ditentukan, maka barang tersebut menjadi tertentu dan tidak lagi barang dalam tanggungan, padahal salah satu syarat sah akad salam dan juga akad istishna’ adalah barang yang dipesan harus barang tidak tertentu yang berada dalam tanggungan.
Namun, menurut ulama Syafii’yah, semua itu adalah sah, baik waktu penyerahan barang ditentukan maupun tidak- yaitu dengan melakukan akad salam dengan penyerahan barang secara langsung ditempat akad. Akad salam secara kontan seperti ini adalah sah menurut mereka.
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad istishna’ boleh berdasarkan dalil istishsan yang ditunjukkan dengan kebiasaan masyarakat melaukan akad ini sepanjang masa tanpa ada yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma tanpa ada yang menolaknya. Menggunakan konsep dalil seperti ini masuk dalam makna hadits.
“umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka dia adalah baik menurut Allah,”
Rasulullah pernah meminta untuk dibuatan sebuah cincin. Beliau juga pernah berbekam dan mencari upah orang yang membekamnya, padahal kadar pekerjaan bekam dan jumlah lbang bekam berbeda antara setiap orang, seperti kadar air yang diminum dari tempat air. Rasullah juga mengetahui adanya kamar mandi umum dan membolehkannya jika memakai kain penutup aurat. Beliau tidak menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Masyarakat pun menggunakan jasa ini sejak masa sahabat dengan cara yang ada seperti sekarang, yaitu tanpa menyebutkan kadar air yang digunakan dan batas waktu di dalam kamar mandi. Sesuatu yang tidak ada kadang kala secara hukum dianggap ada.

C.    Syarat-syarat Istishna’
Pertama, istishna disyaratkan adanya penjelasan menyeluruh tentang barang pesanan, mencakup jenis, bentuk, sifat, ukuran, jumlah dan volumenya.Data yang diberikan sekiranya mampu menghilangkan ketidak jelasan juga potensi perselisihan antara kedua piha yang bertransaksi.Menurut imam Abu Hanifah, ketika pembeli sudah mendapatkan barang pesanan, ia berhak memilih antara mengambil barang tersebut sesuai dengan harganya atau membatalkan akad, baik barang tersebut sesuai dengan pesanan atau tidak. Berbeda dengan Abu Yusuf yang berpendapat bahwa apabila barang sesuai dengan pesanan, maka pembei tidak memiliki hak khiyar, untuk menghindari terjadinya erugian dipihak pembuat. Sebab apabila pemesan membatalkan pesanannya, belum tentu ada orang lain mau membeli barang yang telah dibuatnya.[3]
Kedua,barang yang dipesan harus barang yang biasa dipesan pembuatannya oleh masyarakat, seperti perhiasan,sepatu, wadah, alat keperluan hewan dan alat transportasi lainnya.
Ketiga, tidak menyebutkan batas waktu tertentu. Jika kedua pihak menyebutkan waktu tertentu untuk penyerahan barang yang di pesan, maka rusaklah akad itu dan berubah menjadi akad salam menurut Abu Hanifah. Sehingga kemudian disyaratkan atasnya syarat-syarat yang berlaku dalam akad salam, seperti menyerahkan seluruh harga pada majelis akad dan tidak ada hak khiyar .[4]
Jadi kesimpulannya: Syarat-syarat istishna itu harus terpenuhi karena ini adalah salah satu faktor penting untuk terjadinya jual beli istishna itu sendiri.   


D.    Rukun istishna’
·         Pelaku akad, yaitu mustahni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan;
·         Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman);
·         Shighah, yaitu ijab dan qabul.[5]

E.     Hukum Istishna’
Yang dimaksud dengan hukum istishna’ disini adalah akibat yang ditimbulkan oleh akad istishna’. akad istishna’ memiliki beberapa hukum.
-          Hukum istishna’ dilihat dari akibat utamanya adalah ditetapkannya hak kepemilikan barang yang akan dibuat (dalam tanggungan) bagi pemesan, dan ditetapkannya hak kepemilikan harga yang disepakati bagi pembuat barang.
-          Bentuk akad istishna’. Akad istishna adalah akad tidak lazim (tidak mengikat) sebelum proses pembuatan barang dan setelahnya, baik bagi pemesan atau pembuat barang. Oleh karena itu, masing-masing pihak berhak memilih antara meneruskan atau membatalkannya sebelum melihat barang yang dipesan (khiyar). Jika pembuat barang menjual barang yang dipesan sebelum dilihat oleh pemesannya, maka hal itu dibolehkan. Pasalnya, akad istishna’ adalah tidak lazim dan objek akad bukanlah barang yang dibuat itu tapi beda sepertinya yang ada pada taggungan pembuat.
-          Jika pembuat barang membawa barang pesanan kepada pemesan, maka hak khiyar pembuat barang menjadi hilang, karena dengan kedatanggannya kepada pemesan dengan membawa barang itu berarti ia telah rela bahwa barang tersebut milik pemesan.
-          Hak pemesan tidak terkaid dengan barang yang dipesan kecuali jika pembuat menunjukkannya kepada pemesan. Oleh karena itu, pembuat barang boleh menjual barang epada selain pemesan sebelum barang itu ditunjukkan kepadanya sebagaimana dijelaskan di atas.[6]


F.     Perbedaan antara jual beli istishna dan jual beli salam :
·         Objek istishna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk barang apasaja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi terlebih dahulu.
·         Harga dalam akad salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam akad istishna’ tidah harus dibayar penuh dimuka, melainkan dapat juga dicicil atau dibayar dibelakang.
·         Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam istishna’ akad dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi
·         Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad salam, namun dalam akad istishna’ tidak merupakan keharusan.[7]


















PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam kitab al-Misbaah dan al-Qaamuus al-Muhith disebutkan bahwa secara bahasa istisna berarti thalabus shun’ah (meminta dibuatkan barang). Maksud dari pembuatan barang di sini adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam membuat barang atau dalam pekerjaannya. Sedangkan menurut istilah Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli dan pemesanan.
Syarat-syarat dari Istishna adalah: Pertama, istishna disyaratkan adanya penjelasan menyeluruh tentang barang pesanan, mencakup jenis, bentuk, sifat, ukuran, jumlah dan volumenya.Data yang diberikan sekiranya mampu menghilangkan ketidak jelasan juga potensi perselisihan antara kedua piha yang bertransaksi. Kedua,barang yang dipesan harus barang yang biasa dipesan pembuatannya oleh masyarakat, seperti perhiasan,sepatu, wadah, alat keperluan hewan dan alat transportasi lainnya. Ketiga, tidak menyebutkan batas waktu tertentu.
            Adapun rukun dari Istishna yaitu:
-          Pelaku akad, yaitu mustahni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan;
-          Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman);
-          Shighah, yaitu ijab dan qabul






B.     Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah hadis ini banyak kekurangan, minimnya ilmu yang dimiliki penulis dan keterbatsan waktu, dan keterbatsan referensi, untuk itu penulis meminta kepada pembaca kritik dan sarannya supaya makalah yang akan datang lebih baik dari pada sekarang.
Untuk pemakalah berikutnya, penulis menyarankan agar makalahnya lebih baik dari pada makalah yang penulis buat saat sekarang, agar dapat dilakukan dengan lebih kritis dan mendalam.















DAFTAR PUSTAKA
Ascariya, akad dan produk bank syariah.2011: Jakarta:raja wali pers
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 2010. Jakarta:Gema insani
Sabiq ,Sayyid, Fiqih Sunah. 2011. Jakarta: Al-i’tishom


                              




[1] Fiqih Islam Wa Adillatuhu/karya Wahbah Az-Zuhaili/Bab macam-macam akad jual beli/hal 268
[2] Ibid,hal 270.
[3] Sabiq,sayyid.2011.fiqih sunah.299-300.jakarta:al-i’tishom
[4] Fiqih Islam Wa Adillatuhu/karya Wahbah Az-Zuhaili/Bab macam-macam akad jual beli/hal 271
[5] Ascariya,2011. akad dan produk bank syariah.hal 97. Jakarta:raja wali pers
[6] Fiqih Islam Wa Adillatuhu/karya Wahbah Az-Zuhaili/Bab macam-macam akad jual beli/hal273-274
[7] Ascariya,2011. akad dan produk bank syariah.hal 98. Jakarta:raja wali pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar