DILARANG MENJADI PLAGIAT
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna (komprehensif)
yang mengatur aspek kehidupan manusia, baik akidah, ibadah, akhlak maupun
muamalah. Salah satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqhtishadiyah (Ekonomi Islam).[1]
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad-akad yang kemudian dapat
dikelompokkan dalam berbagai variasi dan jenis-jenis akad, salah satu nya yaitu
akad tabbaru’. Dalam kaidah fiqiyah terdapat perbedaan-perbedaan mazhab ushul
fiqh yang menyebabkan bermunculnya kaidah-kaidah baru baik dari segi peristiwa
yang terjadi sekarang maupun dimasa lampau. Setelah nabi wafat banyak
permasalahan baru yang bermunculan sehingga para ulama ushul fiqh
menijma’kan permasalah-permasalahan yang
baru. Setiap mazhab menulisnya dengan menggunakan metode yang sama, yaitu
metode indukatif, sebgaimana hanafiyah menulis qaidah Ushuliyyah. Namun,
walaupun syafi’iyah dan Hanafiyah dalam penulisan Qaidah Fihqiyyah menggunakan
metode yang sama, hasilnya tetap berbeda-beda, Karena Qa’idah Fiqiyyah dibentuk
berdasrkan persamaan illat masail fiqhiyyah yang sama bersumber dari qa’idah
ushul yang berbeda. Di samping itu perbedaan juga diakibatkan oleh kondisi pada
zaman terbentknya Qaidah tersebut. Perbedan pemahaman terhadap fih yang sangat
dipenagruhi mazab tertentu berakibat pada perbedan aplikasi furu’ dari qaidah
-qaidah tersebut beserta mustasynayat yang menyertainya.[2]
Dalam fiqhiyyah juga membahas masalah akad-akad
namun makalah kami lebih focus terhadap akad menurut tujuannya. Akad menurut
tujuannya dibagi menjadi dua, yaitu: akad tabarru dan tijarah, akan tetapi kami
akan membahas masalah tabarru dimana dalam akad tabarru itu yang bertujuan
tolong-menolong dan murni semata-mata mengharapkan ridha Allah, maka kami akan
menjelaskan lebih jelas agar dapat di pamahani oleh pembaca.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akad tabbaru’?
2. Bagaimana syarat dan rukun akad
tabbaru’?
3. Apa saja kategori akad tabbaru’?
4. Bagaimana penyerahan barangnya dalam
akad tabbaru’?
5. Apa yang dapat membatalkan akad
tabbaru’?
6. Bagaimana kaitan akad tabbaru dengan
lima kaidah asasi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tabbaru’
2. Agar dapat memahami syarat dan rukun
tabbaru’
3. Untuk mengetahui kasifikasi serta
penggolongan dari akad tabbaru’
4. Menjelaskan cara penyerahan barang saat
menggunakan akad tabbaru’
5. Mengetahui hal-hal yag dapat membatalkan
akad tabbaru’
6. Memahami kaitan akad tabbaru’ dengan
kaidah-kaidah asasi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.
AKAD TABBARU’
2.1 Pengertian
Tabbaru’
Tabbaru’ adalah merupakan akad yang
dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata Karena mengharapkan ridho dan
pahala dari Allah swt, sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun
motif. Berikut kaidah mengenai akad tabbaru’:
لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ
“ Tidak sempurna
akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Makna dari kaedah di atas
menjelaskan bahwa Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk
kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai
penyerahan barangnya dilaksanakan. Akad tabarru’ adalah akad yang
dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah dalam arti
memeberikan harta tanpa meminta balasan.[3]Tabarru’
mencakup hadiah, hibah, dan sedekah. Disyaratkan penerimaan dari pihak yang
diberi dikarenakan jika Tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan
merombak kaedah yang telah mapan dalam fikih, yaitu seseorang tidak boleh
memasukkan sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridhaannya. Maksudnya
seseorang tidak boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya.
Atau dengan kata lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa
kepadanya kecuali warisan.
Pemberian atau ‘athiyah
adalah “penyerahan pemilikan kepada pihak lain tanpa imblan tertentu”. Disebutnya
kata “penyerahan pemilikan’ mengandung arti bahwa yang diserahkan itu adalah
milik secara penuh, dengan demikian berlaku untuk selamanya. Kata “pihak lain”
berlaku untuk orang seorang secara perorangan dan juga untuk beberapa orang
dalam kelompok. Pemberian itu terdiri dari beberapa bentuk, dan bila pemberian
itu semata untuk tujuan kebijakan dalam pergaulan hidup tanpa mengharapkan
apa-apa dari siapa pun disebut secara sederhana dengan hibah. Bila pemberian
itu dilaukan secara khusus untuk mendapatkan pahala dari Allah, secara umum
disebut shadaqah. Bila pemberian itu diberikan secara terbuka untuk mendapatkan
perhatian atau pujian disebut hadiah. Bila pemberian itu diberikan kepada
seseorang yang berwenang mengambil keputusan untuk mendapatkan balas jasa yang
dapat merugikan pihak lain disebut sogokan atau suap. Berikut ini firman Allah
SWT Surat al hadid
7:
آمِنُوْابِاللهِ
وَرَسُوْلِهِ وَاَنْفِقُوْامِمَّاجَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهَ
Berimanlah kepada Allah
dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya.[4]
2.2 Syarat-syarat
Sah Penerimaan
Sahnya penerimaan oleh Mutabarra’lah disyaratkan
dengan izin Mutabarri’ secara jelas, seperti perkataannya, “terimalah” atau
“aku telah mengizinkanmu untuk menerima”. Terkadang izin dilakukan dengan
tersirat, seperti Mutabarra’ Lah menerima barang di majelis akad dan dia tidak
dilarang oleh mutabarri’. Disyaratkan juga barang yang diserahkan tidak
disibukkan dengan yang lain saat penyerahan. Jika seseorang menghibahkan
binatang yang di atasnya ada barang bawaan, atau rumah yang di dalamnya
terdapat barang-barang milik pemberi hibah, lalu menyerahkannya beserta dengan
perkara yang menyibukkan tersebut (barang yang tidak masuk dalam hibah), maka
penerimaan tidak sah. Sah nya penerimaan jika:
-
Barang
yang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek penerimaan. Jika seseorang
menghibahkan sesuatu yang berada dalam perut kambing miliknya, maka penerimaan
tidak sah walaupun anaknya bisa diterima setelah lahir.
-
Barang
yang diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya. Karena hal itu masuk
dalam mkana milik umum. Jika seseorang menghibahkan tanaman tanpa tanah
atau tanah tanpa tanaman, ataupun buah tanpa pohon atau pohon tanpa buah,
lalu menyerahkan semuanya, maka penerimaannya tidak sah.
-
Penerimaan
harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak boleh penerimaan yang
dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Namun, penerimaan
boleh dilakukan dengan cara kewilayahan yang memperbolehkan menerima seperti
ini. Maka penerimaan seseorang boleh diwakili wali atau penanggungnya.
2.3 Penggolongan
Akad Tabbaru’
2.3.1
Hibah
Hibah
adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup
tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang. Memberikan Sesutu kepada orang
lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat
pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.[5] Firman Allah SWT. :
وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ
“Dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS.
Al Baqarah : 177)[6]
-
Syarat dan Rukun
hibah
1.
Pihak penghibah
disyaratkan:
a.
Pengibahan
harus sebagai pemilik sempurna atas barang yang di hibahkan.
b.
Penghibah
harus seorang yang cakap serta sempurna yaitu baligh dan berakal.
c.
Penghibah
hendaklah hendaklah melakukan perbuatan
atas dasar kemauan sendiri dengan penuh kerelaan dan bukan dalam keadaan
terpaksa
2.
Pihak penerima
hibah:
Pihak menerima hibah disyaratkan sudah wujud,
dalam arti yang sesungguhnya ketika akad hibah dilaksanakan.
3.
Obyek yang
dihibahkan :
a.
Benda yang
dihibahkan harus milik sempurna dari penghibah
b.
Benda yang
dihibahkan sudah ada dalam arti yang sesungguhnya saat pelaksanaan akad
c.
Objek yang
dihibahkan merupakan sesuatu yang dibolehkan diniliki oleh agama.
d.
Harta yang
dihibahkan harus telah terpisah secara jelas dari harta penghibah
e.
Akad atau ijab
qabul.[7]
2.3.2
Sedekah
Sedekah adalah suatu akad pemberian suatu benda oleh
seseorang kepada orang lain Karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah
SWT dan tidak mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian. Adapun firman
Allah SWT dalam surat al-Hadid ayat 18:
اِنَّ
الْمُصَّدِّقِيْنَ وَالمصَّدِّقَتِ وَاَقْرَضُوااللهَ قَرْضًاحَسَنًايُّضَعَفُ
لَهُمْ وَ لَهُمْ اَجْرِكَرِيْمُ
Sesungguhnya orang-orang yang
bersedekah baik laki-laki maupun perempuan
dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan
dilipatgandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-hadid: 18).[8]
Nabi SAW bersabda:
واصدقةتطفىءالخطيةكماتطفىءالماءالنار
“sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan
api”.(HR. At-Tarmidzi).
Rukun sedekah yaitu:
-
Pihak yang besedekah
-
Penerima sedekah
-
Benda yang disedekahkan
-
Sighat ijab dan Kabul.
2.3.3
Hadiah
Hadiah yaitu
suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang kepada orang lain di waktu ia
masih hidup tanpamengharapkan imbalan dan balas jasa namun dari segi kebiasaan,
hadiah lebih dimotivasi oleh rasa terimakasih dan kekaguman seseorang.[9] Dalam
kitab Al-Hujjah Al-Balighah di sebutkan, hadiah itu dimaksudkan untuk
mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia. Hadiah merupakan bukti rasa cinta
dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Hadiah telah di syariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala bagi
pemberinya.Dalil yang melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah,
bahwa nabi telah bersabda :
لَوْدُعِيْتُ اِلىَ زِرَاعٍ اَوْكُرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْاُهْدِيَ زِرَا عٌ
اَوْكُرَا عٌ لَقَبِلْتُ
“sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi
undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka
kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari).
a. Rukun sedekah yaitu:
-
Pihak yang besedekah
-
Penerima sedekah
-
Benda yang disedekahkan
-
Sighat ijab dan Kabul.[10]
a.
Hukum menerima hadiah :
Para ulama berselisih pendapat tentang
orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya ataukah
disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasannya orang yang diberikan hadiah
yang mubah dan tidak ada penghalang syar’I yang mengharuskan menolaknya.maka
wajib menerimanya. Menurut riwayat Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairrah ra,
beliau berkata bahwa rasulullah SAW pernah bersabda :”barang siapa yang Allah
datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tana dia memintanya, maka hendaklah
menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang allah kirimkan
kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).
b.
Hukum menolak hadiah:
Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh
menolaknya kecuali dikarenakan unsur syar’I dan nabi SAW melarang kita untuk
menolak hadiah dengan sabda beliau :” jangan kalian menolak hadiah”. (telah
lewat takhrijnya).
2.3.4
Zakat
a. Pengertian zakat
Secara terminologis zakat adalh sejumlah harta tertentu
yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[11]
Menurut Undang-undang No.38 tahun 1998 tentang pengelolaan zakat, pengertian
zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang
dimiliki oleh orang muslim sesuai ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.[12]
Firman
Allah SWT surat al-Baqarah ayat 110 :
وَا قِيْمُوا الصّلاَةَل وَآ تُوا الزّ كاةَ وَ
مَا تُقَدِّ مُوا لاُ نْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللهِ إِنَّ للهَ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيْرٌ
Artinya
: “Dan dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu,
tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha
Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
b. Hukum Zakat
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur
sosial islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah iuran wajib.
Zakat adalah perintah Allah SWT yang harus dilaksanakan, jadi hukumnya wajib.
Dalam Al-Qur’an dan Hadist menyatakan perintah akan zakat, antara lain firman
Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 110, QS. Al-Hajj ayat 78, al-Muzammil ayat 21).[13]
c. Manfaat Zakat
Manfaat
ibadah berzakat, termasuk infak/sedekah sangat banyak, yaitu :
1. Bagi yang menuaikan (mizakki,
munfiq, musaddiq)
-
Membersihkan atau menyucikan
jiwanya dari sifat-sifat kikir, bakhil, loba dan tamak.
-
Menanamkan perasaan cinta kasih
terhadap golongan yang lemah (dhuafa)
-
Mengembangkan rasa dan semangat
kesetiakawanan dan kepedulian sosial
-
Membersihkan harta yang kotor,
karena didalam kekayaan itu sendiri terdapat harta benda yang diwajibkan oleh
Allah SWT untuk dikeluarkan, yang ini merupakan hak bagi delapan golongan (anshaf) penerimanya.
-
Menumbuhkan kekayaan sipemilik,
jika dalam memberikan zakat, infak, dan sedekah tersebut dilandasi rasa tulus
ikhlas dan lillahita’ala.
-
Terhindar dari ancaman Allah yang
berupa siksaan pedih di hari kemudian nanti (hari pembalasan)
2. Bagi penerima (mustahiq)
-
Membersihkan (menghilangkan
perasaan sakit hati, iri hati, benci, dan dendam terhadap golongan kaya yang
hidup serba cukup dan bermewah-mewahan, tetapi tidak peduli terhdapa kehidupan
orang lain.
-
Meningkatkan rsaa syukur kepada
Allah SWT, dan rasa terimakasih terhadap golongan yang mampu atau berada,
Karena telah meringankan beban dan penderitaan hidupnya.
-
Memperoleh modal kerja untuk usaha
mandiri dan kesempatan hidup layak, tanpa tergantung belas kasihan pihak lain.
3. Bagi umara (Pemerintah)
-
Menunjang keberhasilan pelaksanaan
program pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan warganya.
-
Mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi kasus-kasus
kecemburuan sosial yang dapat menganngu ketertiban dan ketentraman masyarakat.[14]
Secara tidak langsung dalam
transaksi zakat disitu sudah terdapat akad tabarru’ dimana si pemberi akan
memberikan zakat kepada si penerima zakat
yang mana si pemberi memberikannya murni hanya mencari ridho Allah dan
tanpa mengharapkan harta yang diberikannya itu kembali. Dan Allah-pun
membalasnya dengan cara lain yaitu membersihkan jiwa orang yang berzakat karena
telah menolong orang-orang yang kurang mampu atau membantu sesama kaum muslim.[15]
2.3.5
Wakaf
Menurut
mazhab syafi’I (Imam Nawawi) wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada padanya
dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan tujuan mendekaktan diri kepada
Allah. Tujuan wakaf ialah untuk memanfaatkan benda wakaf sesuai dengan
fungsinya, dan wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta
benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Adapun
firman Allah SWT dalam al-Quran Surat Ali Imran ayat 92:
لَنْ
تَنَالُواالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْامِمَّاتُحِبُّوْنَ
“kalian tidak akan memperoleh kebijakan, sebelum kalian
menginfakkan sebagian harta kalian cintai…” (QS. Ali Imran : 92)
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim
disebutkan, Umar pernah memperileh tanah didaerah Khaibar, lalu dia berkata,
“wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan padaku terkait tanah tersebut?”
Rasulullah bersabda, “Apabila kamu menghendaki, kamu boleh mewakafkan barang
pokoknya, dan kamu menyedekahkan tanah tersebut. “Maka, Umar menyedekahkan
tanah itu dengan tanpa menjual, menghibahkan dan mewariskan barang pokoknya.
Dan menurut pendapat masyhur, tindakan Umar itulah awal pertama kali
wakaf dalam islam.
Adapun Unsur Wakaf adalah sebagai
berikut:
1. Wakif, yaitu pemilik harta atau yang mewakafkan.
2. Nazhir, yaitu pengurus yang diserahkan tugas untuk
mengelola harta benda wakaf
Syarat dan rukun wakaf
1. Harta wakaf milik sendiri
2. Kedua belah pihak harus sehat, dewasa, dan beragama islam
3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
4. Benda yang diwakafkan halal dan tidak bermasalah dengan
hukum.[16]
2.4 Kaitan
Kaidah Asasi dengan akad tabbaru’
1.
Kaidah yang pertama
الأُمُورُبِمِقَاصِدِهَا
“Setiap
perkara tergantung pada niatnya”
Kaidah asasi di atas ialah menjelaskan bahwa niat
adalah kunci bagi seluruh amal perbuatan yang dilakukan, baik dalam berkata
maupun bertindak. Setiap muslim harus terlebih dahulu menghadirkan niat yang
baik, seihngga ucapan dan perbuatannya berbuah menjadi kebaikan. Dalam hadist
nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab yang artinya:
“setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai
dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan
barang siapa hijrahnya Karena mengharapkan kepentingn dunia atau Karena wanita
yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya” (HR. Bukhari
Muslim dari Umar bin Khattab).[17]
Dalam kasus ini, akad tabbaru’ sangat berkaitan
dengan kaidah ini karena tabbaru itu sendiri merupakan akad dimana seseorang
mengorbankan sebagian harta nya atau memberikan barang milik nya kepada orang
lain tanpa mengharapkan imbalan, dengan niat semata-mata hanya mengharapkan ridha
Allah SWT, seperti memberi zakat, memberi sedekah atau infak, hibah, wakaf dan
lain sebagainya. Oleh Karena itu, setiap amal perbuatan apapun bentuknya
berpeluang mendatangkan pahala kebaikan apabila dilakukan dengan niat yang baik
dan ikhlas.
Contoh
kasus, jika seseorang menghibah kan suatu barang atau harta miliknya kepada orang lain diwaktu
ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang dan akad tabbaru’
telah terlaksana maka hukumnya sah, dan jika salah satu dari kedua pihak
meninggal sebelum penyerahan barang maka akad tabbaru’ di batalkan.
2. Kaidah asasi yang kedua
اليَقِينُ
لَايُزَالُ بِالشَّك
“keyakinan
tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
Kaidah di atas mengatakan bahwa
sesungguhnya sesuatu itu dapat dikatakan batal (salah) jika ada bukti yang
mendasar, dan apabila suatu keraguan tidak dapat membuktikan kebenarannya maka
masalah akan tetap di benarkan sesuai keyakinan. Sehubungan dengan kaidah ini,
akad tabbaru juga memiliki kaitan erat dalam keyakinan. Dalam kaidah asasi ini menyatakan bahwa: “apa
yang yakin bisa hilang Karena adanya bukti lain yang meyakikannya pula”.
Ibnu
Qayyim al-Jauziyah berpendapat tentang syak dan mengatakan bahwa: “perlu
diketahui bahwa di dalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan.
Sesungguhnya syak (keraguan) itu dating kepada mukallaf (subyek hukum)
Karena kontrakdisinya dua indicator atau lebih, maka masalahnya menjadi
meragukan baginya (mukallaf). Mungkin bagi orang lain (mukallaf lain) masalah
tersebut tidaklah meragukan. Oleh Karena itu, syak bukanlah sifat yang
tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat yang dating kemudian ketika maslah
tersebut dihubungkan kepada hukum mukallaf.
Dalam akad tabbaru’ bukan hanya terdapat dalam
hibah, zakat, sedekah dan wakaf saja, namun akad tabbaru juga berlaku dalam
akad qardh yaitu hutang. Misalkan, Evi mengaku bahwa Ibnu berhutang kepadanya,
tetapi Ibnu mengaku bahwa dia tidak berhutang kepada Evi, maka yang di akui
adalah perkataan si Ibnu Karena pada asalnya si ibnu tidak berhutang kecuali
evi dapat menyerahkan bukti berupa kwitansi yang membuktikan bahwa ibnu benar
meminjam uang kepada evi. Kasus seperti inilah yang dikatakan bahwa keyakinan itu
tidak akan mudah dihilangkan jika hanya berasas keraguan, jadi tidak
sempurnanya akad tabbaru’ jika tidak ada bukti atau barang yang dapat
diserahkan.
3. Kaidah asasi yang ketiga
المَشَقَّةُتَجْلِبُ
التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan
mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah ini tersebut adalah kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf ( subjek hukum),
maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
Dalam kasus ini dapat dicontohkan dengan zakat yang
merupakan golongan yang terdapat dalam akad tabbaru’, seperti takhfif taqdim
yaitu keringanan dengan cara di dahulukan. Dibolehkan bagi seseorang yang sedang
bepergian atau didalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalannya membayar zakat fitrah pada awal bulan
ramdhan atau waktu jawaz, dengan catatan barangnya ada dan diterima langsung
oleh pihak yang berhak menerima zakat atau si penerima dalam keadaan mustahiq.
Imam Tajuddin al-Subki (w.711 H), imam ‘Abd
al-Rahman al-Suyuthi (w.911), dan ibnu nuzaim (w.970 H) mngatakan bahwa syariat
islam bersifat tidak menyulitkan dalam pelaksanaaannya dan bertujuan untuk
menghilangkan kemudharatanserta meringankan hal-hal yang memebaratkan.[18]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tabbaru’ merupakan akad yang
membahas tentang akad-akad sosial, seperti hibah, sedekah, hadiah, zakat, dan
wakaf. Selain itu akad tabbaru juga dapat ditemukan dalam akad-akad jasa
seperti wakalah, hiwalah, qardh dan lain sebagainya. Tabarru’ adalah
memberikan harta tanpa meminta balasan. Disyaratkan penerimaan dari pihak yang diberi
dikarenakan jika Tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan merombak
kaedah yang telah mapan dalam fikih, yaitu seseorang tidak boleh memasukkan
sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridhaannya. Maksudnya seseorang tidak
boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya. Atau dengan kata
lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa kepadanya kecuali
warisan. Di samping itu, jika tabarru’ tidak
disertai penerimaan, maka bagi Mutabarra’ Lah (orang yang menerima tabarru’)
berhak menuntut mutabarri’ (pemberi tabarru’) untuk menyerahkan
barang tabarru’. Sehingga tabarru’ menjadi akad tanggungan (dhaman) dan ini
tidak boleh terjadi.
Diakatakan akad tabbaru jika
syarat-syarat dan ketentuan akad tersebut dapat terpenuhi , seperti Barang
yang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek penerimaan. Barang yang
diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya. Karena hal itu masuk dalam
mkana milik umum. Penerimaan harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak
boleh penerimaan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum
tamyiz. Kaedah akad tabbaru ialah sempurnanya suatu akad jika adanya penyerahan
barang dan diberikan langsung kepada pihak penerima, kecuali wasiat di mana wasiat adalah
tabarru’. Akan tetapi, wasiat bisa sah dengan tanpa penerimaan.
Abbas, Ahmad Sudirman. 2010. Qawa’id FiqhiyyaA.Djazuli kaidah-kaidah fikih. Jakarta: Prenada
Abdullah, Cholid. 2009 Mengenal hukum ZIS (zakat dan Infak/Sedekah).
Jakarta: Bazis
Al-Quran
Dewi, Gemala. 2006. Aspek-AspekHukumDalamPerbankan
Dan Perasuransian Di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Djazuli. A,
2010. kaidah-kaidah fikih. Jakarta: Prenada Media Group.
Mardani. 2012. FiqhEkonomiSyariah.
Jakarta: Kencana.
Qardhawi, Yusuf. 2007. Hukum
Zakat, diterjemahkan oleh Dr.Salman Haruset
Jakarta :
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis
Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
UU Pasal 1 ayat 3.
[1] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah. (Jakarta :
kencana, 2012) hlm.5.
[2] Ahmad Sudirman Abbas,
Qawa’id Fiqhiyyah, hal. 1
[4] Al-Quran Surat al-Hadid ayat 7.
[5] Mardani,Fiqh Ekonomi Sayriah.. hlm.342
[6] Ibid
[7] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan
Perasuransian Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm 32.
[8] Al-Quran surat al-Hadid ayat 18.
[9] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah… Hlm. 345.
[10] Ibid.
[11] Yusuf qardhawi, Hukum Zakat, diterjemahkan oleh
Dr.Salman Harus et al.(Jakarta :
Litera Antar-Nusa, Cet. 10, 2007), hlm. 34.
[12] UU Pasal 1 ayat 3.
[13] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah… Hlm. 348
[14] Cholid Abdullah, mengenal hukum ZIS (zakat dan
Infak/Sedekah), (Jakarta : Bazis, DKI, 193), hlm, 12.
[15] Prof.Dr.Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh.(Jakrta,
Kencana;2003) hal 37-40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar