Senin, 27 Februari 2017

QAWAID FIQHIYYAH AL MU'AMALAH: TIDAK SEMPURNANYA AKAD TABARU KECUALI DENGAN PENYERAHAN BARANG

DILARANG MENJADI PLAGIAT


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur aspek kehidupan manusia, baik akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqhtishadiyah (Ekonomi Islam).[1] Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad-akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi dan jenis-jenis akad, salah satu nya yaitu akad tabbaru’. Dalam kaidah fiqiyah terdapat perbedaan-perbedaan mazhab ushul fiqh yang menyebabkan bermunculnya kaidah-kaidah baru baik dari segi peristiwa yang terjadi sekarang maupun dimasa lampau. Setelah nabi wafat banyak permasalahan baru yang bermunculan sehingga para ulama ushul fiqh menijma’kan  permasalah-permasalahan yang baru. Setiap mazhab menulisnya dengan menggunakan metode yang sama, yaitu metode indukatif, sebgaimana hanafiyah menulis qaidah Ushuliyyah. Namun, walaupun syafi’iyah dan Hanafiyah dalam penulisan Qaidah Fihqiyyah menggunakan metode yang sama, hasilnya tetap berbeda-beda, Karena Qa’idah Fiqiyyah dibentuk berdasrkan persamaan illat masail fiqhiyyah yang sama bersumber dari qa’idah ushul yang berbeda. Di samping itu perbedaan juga diakibatkan oleh kondisi pada zaman terbentknya Qaidah tersebut. Perbedan pemahaman terhadap fih yang sangat dipenagruhi mazab tertentu berakibat pada perbedan aplikasi furu’ dari qaidah -qaidah tersebut beserta mustasynayat yang menyertainya.[2]
Dalam fiqhiyyah juga membahas masalah akad-akad namun makalah kami lebih focus terhadap akad menurut tujuannya. Akad menurut tujuannya dibagi menjadi dua, yaitu: akad tabarru dan tijarah, akan tetapi kami akan membahas masalah tabarru dimana dalam akad tabarru itu yang bertujuan tolong-menolong dan murni semata-mata mengharapkan ridha Allah, maka kami akan menjelaskan lebih jelas agar dapat di pamahani oleh pembaca.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan akad tabbaru’?
2.      Bagaimana syarat dan rukun akad tabbaru’?
3.      Apa saja kategori akad tabbaru’?
4.      Bagaimana penyerahan barangnya dalam akad tabbaru’?
5.      Apa yang dapat membatalkan akad tabbaru’?
6.      Bagaimana kaitan akad tabbaru dengan lima kaidah asasi?

C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian tabbaru’
2.      Agar dapat memahami syarat dan rukun tabbaru’
3.      Untuk mengetahui kasifikasi serta penggolongan dari akad tabbaru’
4.      Menjelaskan cara penyerahan barang saat menggunakan akad tabbaru’
5.      Mengetahui hal-hal yag dapat membatalkan akad tabbaru’
6.      Memahami kaitan akad tabbaru’ dengan kaidah-kaidah asasi
















BAB II
PEMBAHASAN
2.      AKAD TABBARU’
2.1  Pengertian Tabbaru’
Tabbaru’ adalah merupakan akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata Karena mengharapkan ridho dan pahala dari Allah swt, sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun motif. Berikut kaidah mengenai akad tabbaru’:

لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ
“ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

Makna dari kaedah di atas menjelaskan bahwa Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan. Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah dalam arti memeberikan harta tanpa meminta balasan.[3]Tabarru’ mencakup hadiah, hibah, dan sedekah. Disyaratkan penerimaan dari pihak yang diberi dikarenakan jika Tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan merombak kaedah yang telah mapan dalam fikih, yaitu seseorang tidak boleh memasukkan sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridhaannya. Maksudnya seseorang tidak boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya. Atau dengan kata lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa kepadanya kecuali warisan.
Pemberian atau ‘athiyah adalah “penyerahan pemilikan kepada pihak lain tanpa imblan tertentu”. Disebutnya kata “penyerahan pemilikan’ mengandung arti bahwa yang diserahkan itu adalah milik secara penuh, dengan demikian berlaku untuk selamanya. Kata “pihak lain” berlaku untuk orang seorang secara perorangan dan juga untuk beberapa orang dalam kelompok. Pemberian itu terdiri dari beberapa bentuk, dan bila pemberian itu semata untuk tujuan kebijakan dalam pergaulan hidup tanpa mengharapkan apa-apa dari siapa pun disebut secara sederhana dengan hibah. Bila pemberian itu dilaukan secara khusus untuk mendapatkan pahala dari Allah, secara umum disebut shadaqah. Bila pemberian itu diberikan secara terbuka untuk mendapatkan perhatian atau pujian disebut hadiah. Bila pemberian itu diberikan kepada seseorang yang berwenang mengambil keputusan untuk mendapatkan balas jasa yang dapat merugikan pihak lain disebut sogokan atau suap. Berikut ini firman Allah SWT Surat al hadid 7:

آمِنُوْابِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاَنْفِقُوْامِمَّاجَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهَ
Berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.[4]

2.2  Syarat-syarat Sah Penerimaan
Sahnya penerimaan oleh Mutabarra’lah disyaratkan dengan izin Mutabarri’ secara jelas, seperti perkataannya, “terimalah” atau “aku telah mengizinkanmu untuk menerima”. Terkadang izin dilakukan dengan tersirat, seperti Mutabarra’ Lah menerima barang di majelis akad dan dia tidak dilarang oleh mutabarri’. Disyaratkan juga barang yang diserahkan tidak disibukkan dengan yang lain saat penyerahan. Jika seseorang menghibahkan binatang yang di atasnya ada barang bawaan, atau rumah yang di dalamnya terdapat barang-barang milik pemberi hibah, lalu menyerahkannya beserta dengan perkara yang menyibukkan tersebut (barang yang tidak masuk dalam hibah), maka penerimaan tidak sah. Sah nya penerimaan jika:
-          Barang yang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek penerimaan. Jika seseorang menghibahkan sesuatu yang berada dalam perut kambing miliknya, maka penerimaan tidak sah walaupun anaknya bisa diterima setelah lahir.
-          Barang yang diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya. Karena hal itu masuk dalam mkana milik umum. Jika seseorang menghibahkan tanaman tanpa tanah  atau tanah tanpa tanaman, ataupun buah tanpa pohon atau pohon tanpa buah, lalu menyerahkan semuanya, maka penerimaannya tidak sah.
-          Penerimaan harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak boleh penerimaan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Namun, penerimaan boleh dilakukan dengan cara kewilayahan yang memperbolehkan menerima seperti ini. Maka penerimaan seseorang boleh diwakili wali atau penanggungnya.
2.3  Penggolongan Akad Tabbaru’
2.3.1        Hibah
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang. Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.[5] Firman Allah SWT. :
وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177)[6]
-          Syarat dan Rukun hibah
1.      Pihak penghibah disyaratkan:
a.       Pengibahan harus sebagai pemilik sempurna atas barang yang di hibahkan.
b.      Penghibah harus seorang yang cakap serta sempurna yaitu baligh dan berakal.
c.       Penghibah hendaklah  hendaklah melakukan perbuatan atas dasar kemauan sendiri dengan penuh kerelaan dan bukan dalam keadaan terpaksa
2.      Pihak penerima hibah:
Pihak menerima hibah disyaratkan sudah wujud, dalam arti yang sesungguhnya ketika akad hibah dilaksanakan.
3.      Obyek yang dihibahkan :
a.       Benda yang dihibahkan harus milik sempurna dari penghibah
b.      Benda yang dihibahkan sudah ada dalam arti yang sesungguhnya saat pelaksanaan akad
c.       Objek yang dihibahkan merupakan sesuatu yang dibolehkan diniliki oleh agama.
d.      Harta yang dihibahkan harus telah terpisah secara jelas dari harta penghibah
e.       Akad atau ijab qabul.[7]

2.3.2        Sedekah
Sedekah adalah suatu akad pemberian suatu benda oleh seseorang kepada orang lain Karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan tidak mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian. Adapun firman Allah SWT dalam surat al-Hadid ayat 18:

اِنَّ الْمُصَّدِّقِيْنَ وَالمصَّدِّقَتِ وَاَقْرَضُوااللهَ قَرْضًاحَسَنًايُّضَعَفُ لَهُمْ وَ لَهُمْ اَجْرِكَرِيْمُ
Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan  dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-hadid: 18).[8]
Nabi SAW bersabda:
واصدقةتطفىءالخطيةكماتطفىءالماءالنار
sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api”.(HR. At-Tarmidzi). 
Rukun sedekah yaitu:
-          Pihak yang besedekah
-          Penerima sedekah
-          Benda yang disedekahkan
-          Sighat ijab dan Kabul.

2.3.3        Hadiah
Hadiah yaitu suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpamengharapkan imbalan dan balas jasa namun dari segi kebiasaan, hadiah lebih dimotivasi oleh rasa terimakasih dan kekaguman seseorang.[9] Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah di sebutkan, hadiah itu dimaksudkan untuk mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia. Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Hadiah telah di syariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala bagi pemberinya.Dalil yang melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah, bahwa nabi telah bersabda :

لَوْدُعِيْتُ اِلىَ زِرَاعٍ اَوْكُرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْاُهْدِيَ زِرَا عٌ اَوْكُرَا عٌ لَقَبِلْتُ

“sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari).
a. Rukun sedekah yaitu:
-          Pihak yang besedekah
-          Penerima sedekah
-          Benda yang disedekahkan
-          Sighat ijab dan Kabul.[10]

a.      Hukum menerima hadiah :
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya ataukah disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasannya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’I yang mengharuskan menolaknya.maka wajib menerimanya. Menurut riwayat Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairrah ra, beliau berkata bahwa rasulullah SAW pernah bersabda :”barang siapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tana dia memintanya, maka hendaklah menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).

b.      Hukum menolak hadiah:
Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan unsur syar’I dan nabi SAW melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau :” jangan kalian menolak hadiah”. (telah lewat takhrijnya).



2.3.4        Zakat
a.      Pengertian zakat
Secara terminologis zakat adalh sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[11] Menurut Undang-undang No.38 tahun 1998 tentang pengelolaan zakat, pengertian zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.[12]
            Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 110 :
وَا قِيْمُوا الصّلاَةَل وَآ تُوا الزّ كاةَ وَ مَا تُقَدِّ مُوا لاُ نْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللهِ إِنَّ للهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيْرٌ
Artinya : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.

b.      Hukum Zakat
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah iuran wajib. Zakat adalah perintah Allah SWT yang harus dilaksanakan, jadi hukumnya wajib. Dalam Al-Qur’an dan Hadist menyatakan perintah akan zakat, antara lain firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 110, QS. Al-Hajj ayat 78, al-Muzammil ayat 21).[13]

c.       Manfaat Zakat
Manfaat ibadah berzakat, termasuk infak/sedekah sangat banyak, yaitu :
1.      Bagi yang menuaikan (mizakki, munfiq, musaddiq)
-          Membersihkan atau menyucikan jiwanya dari sifat-sifat kikir, bakhil, loba dan tamak.
-          Menanamkan perasaan cinta kasih terhadap golongan yang lemah (dhuafa)
-          Mengembangkan rasa dan semangat kesetiakawanan dan kepedulian sosial
-          Membersihkan harta yang kotor, karena didalam kekayaan itu sendiri terdapat harta benda yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk dikeluarkan, yang ini merupakan hak bagi delapan golongan (anshaf) penerimanya.
-          Menumbuhkan kekayaan sipemilik, jika dalam memberikan zakat, infak, dan sedekah tersebut dilandasi rasa tulus ikhlas dan lillahita’ala.
-          Terhindar dari ancaman Allah yang berupa siksaan pedih di hari kemudian nanti (hari pembalasan)

2.      Bagi penerima (mustahiq)
-          Membersihkan (menghilangkan perasaan sakit hati, iri hati, benci, dan dendam terhadap golongan kaya yang hidup serba cukup dan bermewah-mewahan, tetapi tidak peduli terhdapa kehidupan orang lain.
-          Meningkatkan rsaa syukur kepada Allah SWT, dan rasa terimakasih terhadap golongan yang mampu atau berada, Karena telah meringankan beban dan penderitaan hidupnya.
-          Memperoleh modal kerja untuk usaha mandiri dan kesempatan hidup layak, tanpa tergantung belas kasihan pihak lain.

3.      Bagi umara (Pemerintah)
-          Menunjang keberhasilan pelaksanaan program pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan warganya.
-          Mengurangi beban    pemerintah dalam mengatasi kasus-kasus kecemburuan sosial yang dapat menganngu ketertiban dan ketentraman masyarakat.[14]

Secara tidak langsung dalam transaksi zakat disitu sudah terdapat akad tabarru’ dimana si pemberi akan memberikan zakat kepada si penerima zakat  yang mana si pemberi memberikannya murni hanya mencari ridho Allah dan tanpa mengharapkan harta yang diberikannya itu kembali. Dan Allah-pun membalasnya dengan cara lain yaitu membersihkan jiwa orang yang berzakat karena telah menolong orang-orang yang kurang mampu atau membantu sesama kaum muslim.[15]

2.3.5         Wakaf
Menurut mazhab syafi’I (Imam Nawawi) wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan tujuan mendekaktan diri kepada Allah. Tujuan wakaf ialah untuk memanfaatkan benda wakaf sesuai dengan fungsinya, dan wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Adapun firman Allah SWT dalam al-Quran Surat Ali Imran ayat 92:

لَنْ تَنَالُواالْبِرَّحَتَّى تُنْفِقُوْامِمَّاتُحِبُّوْنَ
kalian tidak akan memperoleh kebijakan, sebelum kalian menginfakkan sebagian harta kalian cintai…”  (QS. Ali Imran : 92)
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan, Umar pernah memperileh tanah didaerah Khaibar, lalu dia berkata, “wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan padaku terkait tanah tersebut?” Rasulullah bersabda, “Apabila kamu menghendaki, kamu boleh mewakafkan barang pokoknya, dan kamu menyedekahkan tanah tersebut. “Maka, Umar menyedekahkan tanah itu dengan tanpa menjual, menghibahkan dan mewariskan barang pokoknya. Dan menurut pendapat masyhur, tindakan Umar itulah awal pertama kali wakaf dalam islam.





Adapun Unsur Wakaf adalah sebagai berikut:
1.      Wakif, yaitu pemilik harta atau yang mewakafkan.
2.      Nazhir, yaitu pengurus yang diserahkan tugas untuk mengelola harta benda wakaf

Syarat dan rukun wakaf
1.       Harta wakaf milik sendiri
2.      Kedua belah pihak harus sehat, dewasa, dan beragama islam
3.      Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
4.      Benda yang diwakafkan halal dan tidak bermasalah dengan hukum.[16]

2.4  Kaitan Kaidah Asasi dengan akad tabbaru’
1.      Kaidah yang pertama
الأُمُورُبِمِقَاصِدِهَا
Setiap perkara tergantung pada niatnya”

Kaidah asasi di atas ialah menjelaskan bahwa niat adalah kunci bagi seluruh amal perbuatan yang dilakukan, baik dalam berkata maupun bertindak. Setiap muslim harus terlebih dahulu menghadirkan niat yang baik, seihngga ucapan dan perbuatannya berbuah menjadi kebaikan. Dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab yang artinya: “setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barang siapa hijrahnya Karena mengharapkan kepentingn dunia atau Karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya” (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab).[17]
Dalam kasus ini, akad tabbaru’ sangat berkaitan dengan kaidah ini karena tabbaru itu sendiri merupakan akad dimana seseorang mengorbankan sebagian harta nya atau memberikan barang milik nya kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, dengan niat semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah SWT, seperti memberi zakat, memberi sedekah atau infak, hibah, wakaf dan lain sebagainya. Oleh Karena itu, setiap amal perbuatan apapun bentuknya berpeluang mendatangkan pahala kebaikan apabila dilakukan dengan niat yang baik dan ikhlas.
Contoh kasus, jika seseorang menghibah kan suatu barang atau harta miliknya kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang dan akad tabbaru’ telah terlaksana maka hukumnya sah, dan jika salah satu dari kedua pihak meninggal sebelum penyerahan barang maka akad tabbaru’ di batalkan.

2.      Kaidah asasi yang kedua

اليَقِينُ لَايُزَالُ بِالشَّك

“keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”

            Kaidah di atas mengatakan bahwa sesungguhnya sesuatu itu dapat dikatakan batal (salah) jika ada bukti yang mendasar, dan apabila suatu keraguan tidak dapat membuktikan kebenarannya maka masalah akan tetap di benarkan sesuai keyakinan. Sehubungan dengan kaidah ini, akad tabbaru juga memiliki kaitan erat dalam keyakinan.  Dalam kaidah asasi ini menyatakan bahwa: “apa yang yakin bisa hilang Karena adanya bukti lain yang meyakikannya pula”.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat tentang syak dan mengatakan bahwa: “perlu diketahui bahwa di dalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak (keraguan) itu dating kepada mukallaf (subyek hukum) Karena kontrakdisinya dua indicator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf). Mungkin bagi orang lain (mukallaf lain) masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh Karena itu, syak bukanlah sifat yang tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat yang dating kemudian ketika maslah tersebut dihubungkan kepada hukum mukallaf.
Dalam akad tabbaru’ bukan hanya terdapat dalam hibah, zakat, sedekah dan wakaf saja, namun akad tabbaru juga berlaku dalam akad qardh yaitu hutang. Misalkan, Evi mengaku bahwa Ibnu berhutang kepadanya, tetapi Ibnu mengaku bahwa dia tidak berhutang kepada Evi, maka yang di akui adalah perkataan si Ibnu Karena pada asalnya si ibnu tidak berhutang kecuali evi dapat menyerahkan bukti berupa kwitansi yang membuktikan bahwa ibnu benar meminjam uang kepada evi. Kasus seperti inilah yang dikatakan bahwa keyakinan itu tidak akan mudah dihilangkan jika hanya berasas keraguan, jadi tidak sempurnanya akad tabbaru’ jika tidak ada bukti atau barang yang dapat diserahkan.

3.      Kaidah asasi yang ketiga

المَشَقَّةُتَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ

“Kesulitan mendatangkan kemudahan”

Makna dari kaidah ini tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf ( subjek hukum), maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dalam kasus ini dapat dicontohkan dengan zakat yang merupakan golongan yang terdapat dalam akad tabbaru’, seperti takhfif taqdim yaitu keringanan dengan cara di dahulukan. Dibolehkan bagi seseorang yang sedang bepergian atau didalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalannya membayar zakat fitrah pada awal bulan ramdhan atau waktu jawaz, dengan catatan barangnya ada dan diterima langsung oleh pihak yang berhak menerima zakat atau si penerima dalam keadaan mustahiq.
Imam Tajuddin al-Subki (w.711 H), imam ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi (w.911), dan ibnu nuzaim (w.970 H) mngatakan bahwa syariat islam bersifat tidak menyulitkan dalam pelaksanaaannya dan bertujuan untuk menghilangkan kemudharatanserta meringankan hal-hal yang memebaratkan.[18]







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tabbaru’ merupakan akad yang membahas tentang akad-akad sosial, seperti hibah, sedekah, hadiah, zakat, dan wakaf. Selain itu akad tabbaru juga dapat ditemukan dalam akad-akad jasa seperti wakalah, hiwalah, qardh dan lain sebagainya. Tabarru’ adalah memberikan harta tanpa meminta balasan. Disyaratkan penerimaan dari pihak yang diberi dikarenakan jika Tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan merombak kaedah yang telah mapan dalam fikih, yaitu seseorang tidak boleh memasukkan sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridhaannya. Maksudnya seseorang tidak boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya. Atau dengan kata lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa kepadanya kecuali warisan. Di samping itu, jika tabarru’ tidak disertai penerimaan, maka bagi Mutabarra’ Lah (orang yang menerima tabarru’) berhak menuntut mutabarri’ (pemberi  tabarru’) untuk menyerahkan barang tabarru’. Sehingga tabarru’ menjadi akad tanggungan (dhaman) dan ini tidak boleh terjadi.
Diakatakan akad tabbaru jika syarat-syarat dan ketentuan akad tersebut dapat terpenuhi , seperti Barang yang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek penerimaan. Barang yang diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya. Karena hal itu masuk dalam mkana milik umum. Penerimaan harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak boleh penerimaan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Kaedah akad tabbaru ialah sempurnanya suatu akad jika adanya penyerahan barang dan diberikan langsung kepada pihak penerima, kecuali wasiat di mana wasiat adalah tabarru’. Akan tetapi, wasiat bisa sah dengan tanpa penerimaan.







DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ahmad Sudirman. 2010. Qawa’id FiqhiyyaA.Djazuli kaidah-kaidah fikih. Jakarta: Prenada
Abdullah, Cholid. 2009  Mengenal hukum ZIS (zakat dan Infak/Sedekah). Jakarta: Bazis
Al-Quran
Dewi, Gemala. 2006. Aspek-AspekHukumDalamPerbankan Dan Perasuransian Di Indonesia. 
Jakarta: Kencana.
Djazuli. A, 2010. kaidah-kaidah fikih. Jakarta: Prenada Media Group.

Mardani. 2012. FiqhEkonomiSyariah. Jakarta: Kencana.
Qardhawi, Yusuf. 2007. Hukum Zakat, diterjemahkan oleh Dr.Salman Haruset Jakarta :
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
UU Pasal 1 ayat 3.












[1] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah. (Jakarta : kencana, 2012) hlm.5.
[2] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah, hal. 1
[3] A.Djazuli.kaidah-kaidah fikih (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 135
[4] Al-Quran Surat al-Hadid ayat 7.
[5] Mardani,Fiqh Ekonomi Sayriah.. hlm.342
[6] Ibid
[7] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm 32.
[8] Al-Quran surat al-Hadid ayat 18.
[9] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah… Hlm. 345.
[10] Ibid.
[11] Yusuf qardhawi, Hukum Zakat, diterjemahkan oleh Dr.Salman Harus et al.(Jakarta : Litera Antar-Nusa, Cet. 10, 2007), hlm. 34.
[12] UU Pasal 1 ayat 3.
[13] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah… Hlm. 348
[14] Cholid Abdullah, mengenal hukum ZIS (zakat dan Infak/Sedekah), (Jakarta : Bazis, DKI, 193), hlm, 12.
[15] Prof.Dr.Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh.(Jakrta, Kencana;2003) hal 37-40
[16] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah… Hlm. 356.
[17] A.Djazuli.kaidah-kaidah fikihHlm. 38
[18] A.Djazuli.kaidah-kaidah fikih (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar