Senin, 27 Februari 2017

Hadits ahkam mu'amalah: Ihya’ Al-Mawat wa Luqatah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar belakang

          Secara tidak sengaja sering kali kita menemukan barang dijalan dan kita bingung harus berbuat apa terhadap barang tersebut, mau diambil atau dibiarkan saja. Kalau mau mengambil apa diperbolehkan dalam Islam, dan kalau barang tersebut dibiarkan saja apakah tidak mubadhir.Hal ini terjadi karena kita tidak mengetahui hukum menemukan barang temuan (Luqathah).

          Tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang bersangkutan.

          Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas dua diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Luqathah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah yang sangat besar untuk kehidupan sosial.

1.2         Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ihya ul-mawat itu?
2.      Apa landasan hukum dari ihya ul-mawat itu?
3.      Apa yang dimaksud dengan barang temuan (Luqathah)
4.      Bagaimana  hukum pengambilan barang temuan?


1.3         Tujuan Masalah

1.      Mengetahui pengertian dari ihya ul-mawat.
2.      Untuk mengetahui hukumnya dari akad ihya ul-mawat.
3.      Untuk mengetahui pegertian barang temuan (Luqathah) 

4.      Mengetahui hukum pengambilan barang temuan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pengertian Ihya’ Al-Mawat

Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar IbnKhusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya.[1] Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.

Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun, sehingga bisa menghidupkannya yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.

Menurut Sulaiman Rasjid ihya’ al-mawat adalah membuka tanah baru yakni tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak dimiliki oleh seorang atau tidak diketahui pemiliknya.[2] Idris Ahmad mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun sawah dan yang lainnya.[3]

Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:

اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد       
Artinya : Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari  pemukiman maupun dekat.
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan, “pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang”.[4]

Al-qur’an tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Al-qur’an hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas bumi untuk mencari karunia Allah sebagaimana terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 10.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Ayat ini menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka  bercocok tanam di lahannya. Oleh karena itu ayat ini menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif bekerja dan memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk menghidupkan lahan kosong.

2.2              Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat

Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.
Hadis-hadist yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat

عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)[5]                                           
Artinya :  Dari Aisyah r.a : Nabi saw pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R Bukhari)

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: أجلى عمر رضي الله عنه اليهود والنصارى من أرض الحجاج, وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم لما ظهر على خير, أراد اخراج اليهود منها, وكانت الأرض حين ظهر عليها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم وللمسلمين وأراد إخراج اليهود منها, فسأ لت اليهود رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقرهم بها ان يكفوا عملها, ولهم نصف الثمر, فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : (نقركم بها على ذلك ماشئنا) فقروا بها حتى أجلى هم عمر ألى تيماء وأريحاء (رواه البخارى)                                 
Artinya:   Dari Ibnu Umar r.a : Umar r.a mengeluarkan orang-orang yahudi dan nasrani dari hijaz pada saat menaklukan khaibar, rasulullah saw hendak mengeluarkan orang-orang yahudi dari tanah itu, sehingga tanah itu menjadi hak milik Allah, Rasulnya dan umat Islam. Tetapi mereka memohon agar tetap dibiarkan tinggal disana dengan syarat mereka akan mengelola tanah itu dan memperoleh separo buah-buahan (hasil mengelola tanah itu). Rasulullah saw bersabda kepada mereka, “kami akan membiarkan kalian tinggal disini selama kami mau,” maka mereka (orang-orang yahudi) tinggal disana hingga umar (pada masa kekhalifahannya) memindahkan mereka Tayma dan Ariha. (H.R. Bukhari)

عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى)[6]
Artinya:   Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi saw bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)

وعن سعيد بن زيد قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. من أحيا ارضا ميتتا فهى له, وليس لعرق ظالم حق (رواه احمد وابو داود والترمذى)
Artinya:   Dari Said bin Jaid berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang menghidupkan lahan mati maka lahan itu menjadi miliknya, tidak ada suatu hak bagi yang mempunyai akar pohon yang zalim atau orang yang zalim (H.R Ahmad, Abu dawud, dan Turmudzy)

وعن أسمر بن مضرس قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فبا يعته, فقال "من سبق الى مالم يسبق اليه مسلم فهو له" قال : فخرج الناس يتعادون يطخاطون (رواه ابو داود)
Artinya:   Dari Asmar bin Mudarris berkata : saya datang menemui Nabi, dan membai’atkannya, Nabi bersabda : Barang siapa yang lebih dahulu melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh seseorang muslim yang lain sebelumnya, tanah tersebut menjadi miliknya, Asmar berkata : maka beberapa orang berlomba menuju lahan kosong untuk membuat patok menandai bahwa tanah itu miliknya (H.R. Abu Dawud)

2.3              Cara-cara Ihya’ Al-Mawat

Adapun cara-cara menghidupkan lahan mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Pengolahan lahan yang menjadi obyek Ihya’ al-Mawat menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya, mencangkul lahannya untuk pertanian, membuat saluran irigasi, baik dengan menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan, serta memagarnya.

Ulama Syafi’iyah menyatakan cara untuk mengolah lahan kosong yang tidak dimiliki seseorang dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu dimaksudkan untuk tempat tinggal, maka lahan itu perlu dipagar dan membangun rumah di atasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian, maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur maupun mengambil air dari sungai, dan menanami lahan itu dengan tanaman produktif sesuai dengan keinginannya. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat itu cukup dengan dilakukan dengan memagar sekeliling lahan yang ingin digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan ternak, maupun untuk perumahan.

Akan tetapi, ulama fiqh lain menyatakan bahwa ihya’ al-mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang lahan, tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan. Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut:

a)      Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
b)      Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c)      Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d)     Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.[7]

2.4              Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat

Adapun obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah Saw, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul Saw agar memberikannya.

Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah usyuriyah, maka dia bisa memiliki lahan dan kegunaannya sekaligus, baik muslim maupun non-muslim. Bagi seorang muslim wajib membayar usyurdari panen tanaman dan buah-buahannya sebagai zakat yang diwajibkan atas tanaman dan buah-buahannya, apabila telah mencapai satu nisab. Sementara bagi non-muslim tidak wajib membayar zakat, baik usyur maupunkharaj. Sebab, orang non-muslim tidak termasuk orang yang wajib membayar zakat, sehingga dia bisa diwajibkan. Disamping karena kharaj memang tidak diwajibkan atas tanah usyuriyah.

Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah kharajiyah, yang belum pernah dipungutkharaj-nya, maka ia berhak memiliki lahan dan kegunaannya sekaligus, bila dia seorang muslim dan hanya berhak memiliki kegunaannya, bila dia seorang non-muslim. Bagi seorang muslim, hanya wajib membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Sedangkan bagi orang non-muslim wajib membayar kharaj, sebagaimana yang telah ditetapkan atas penduduk tanah yang non-muslim, ketika mereka dibiarkan pada saat penaklukan, sebagai kompensasi kharaj yang harus mereka keluarkan.

Siapa pun yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, di atas tanah kharajiah yang sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut berubah menjadi tanah mati, maka orang yang bersangkutan hanya berhak memiliki kegunaannya, sementara lahannya tidak, baik muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, masing-masing tetap diwajibkan membayar kharaj, sebab tanah tersebut berstatus sebagai tanah yang ditaklukan yang harus diambil kharaj-nya. Dengan demikian, kharaj tersebut tetap wajib atas tanah tadi sepanjang masa, baik tanah tadi dimiliki oleh seorang muslim maupun non-muslim. Ini adalah ketentuan menghidupkan tanah untuk ditanami.

Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya. Lahan seperti ini ada dua riwayat: pertama, boleh dimiliki dengan cara menghidupkannya berdasarkan hadis Nabi Saw:

عادى الرض لله ولرسوله ثم هي لكم بعد
Artinya : Tanah tertinggal adalah milik Allah dan Rasulnya, kemudian diserahkan kepadamu sekalian.

Para ulama fiqh juga membagi lahan itu kepada dua bagian, yaitu yang boleh menjadi obyek ihya al-mawatdan yang tidak boleh. Para ulama sepakat menyatakan bahwa lahan yang belum dimiliki seseorang, tidak ada tanda-tanda lahan itu digarap, dan di lahan itu tidak ada bangunan, boleh digarap oleh siapapun. Ulama juga sepakat menyatakan bahwa sebidang tanah yang telah menjadi milik seseorang, sekalipun belum dimanfaatkan, tidak bisa dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat yang terletak pada masalah:

1.        Tanah yang sudah ada pemiliknya akan tetapi ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga terlantar dan kembali seperti tanah mati yang tidak ada pemiliknya. Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan oleh orang lain karena hadis hanya memberikan alasan kebolehan menghidupkan tanah mati itu dengan tanah yang tidak punya pemilik, dan kepemilikan harta tidak hilang karena ditinggalkan. Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah mengatakan tanah seperti ini boleh dihidupkan kalau tidak diketahui lagi siapa pemiliknya karena pemiliknya jauh dari pemukiman penduduk sekiranya seseorang menyerunya sekeras-kerasnya pemilik tanah tidak mendengar suara tersebut.
2.        Tanah yang di atasnya dijumpai peninggalan-peninggalan sejarah klasik seperti peninggalan kaum Rum, Samud, dan lain sebagainya. Tanah seperti ini boleh dihidupkan menurut mazhab yang empat didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:

عادي الأرض لله ولرسوله ثم هو بعد لكم
3.        Tanah itu telah dimiliki orang Islam atau kafir zimmi akan tetapi tidak dikenal siapa pemiliknya, Menurut Syafi’i tanah itu tanah kosong. Pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah demikian juga penentuan kepemilikannya. Pemerintah juga berhak menjualnya dengan menyimpan uangnya atau mengqiradkannya di bait al-mal dan tidak boleh dihidupkan orang lain.

2.5              Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat

Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi: Ihya’ al-Mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:

1.      Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2.      Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.

Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah:[8]
1.      Pemilikan lahan itu.
            Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
2.      Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
            Apabila seseorang telah menggarap suatu lahan menjadi pertanian, bagaimana kaitannya dengan pemerintah?
            Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%.
3.      Seorang telah menggarap sebidang lahan
            Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.

2.6              Syarat-syarat Ihya’ al-Mawat

            Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat Ihya’ al-Mawat ada 3 yaitu :

1)      Orang yang menggarap
2)      Lahan yang akan digarap
3)      Proses penggarapan.

a.              Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.

b.             Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.

c.              Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan
menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek Ihya’ al-Mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.

2.7              Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat

Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.

Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.

Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya

2.8  Pengertian Luqathah

            Menurut Wahbah Zuhaili Ulama terkenal madzhab Syafii asal Syiria dalam kitabnya Fiqhul Islam wa adillatuhu menyebutkan bahwa Luqathah adalah:

ما يلتقطه الإنسان من بني ادم أو الأموال، أو الحيوان.[9]
“Sesuatu yang dikutip berupa manusia, atau harta atau hewan”

Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Luqathah adalah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya. Kebanyakan kata Luqathah dipakai untuk barang temuan selain hewan. Adapun untuk hewan sering disebut dhallah.

Secara lugas dalam hadis diterangkan bahwa barang temuan adalah milik seseorang yang terpisah dari orang tersebut. Barang temuan dalam bahasa Arab (Bahasa Fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah sesuatu yang ditemukan atau didapat.

Sedangkan menurut istilah ( Terminologi ) yang dimaksud dengan al-Luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama sebagai berikut:[10]

a.       Muhamad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa al-Luqathah ialah: “Sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.
b.      Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah: “Sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan di daerah harby, tidak terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.
c.       Al-Imam Taqiy al-Din Abii Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-Luqathah menurut syara’ ialah:
Pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan” .

2.9              Rukun Luqathah

Rukun-rukun dalam Luqathah ada 3 yakni :

1)      memungut luqathah ( Iltiqath)
2)      Benda-benda atau barang-barang yang ditemukan ( Multaqath )
3)      Penemu ( Multaqith )

2.10          Hukum Pengambilan Barang Temuan

Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengmbilan barang temuan antara lain sebagai berikut: [11]

a.       Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut suatu pendapat , hukum memungut luqathah wajib, jika luqathah ditemukan ditempat yang tidak aman. Hal ini sesuai dengan firman Allah “ Orang- Orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain” ( Q.S at Taubah : 71 ) Sebab, sebagian kaum mukminin wajib menjaga kekayaan sebagian kaum mukminin lainnya.

b.      Sunnat, sunnat mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang –barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang  sia-sia.

c.       Makruh, Imam Malik dan kelompok Hanabilah juga sepakat bahwa memungut barang temuan itu hukumnya makruh, alasannya adalah karena seseorang tidak boleh mengambil harta saudaranya serta dikhawatirkan orang yang mengambil itu bersifat lalai menjaga atau memberitahukannya.[12]

d.      Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang tersebut.
Hukum memungut luqathah juga haram jika berada dikawasan tanah haram ( Mekah ) Apabila seseorang memungut luqathah dengan berniat memilikinya, dia harus mengganti karena dia telah bertindak lalai. Hal ini sesuai dengan hadist ,” Barang yang jatuh di Tanah Haram Mekah tidak halal kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya ( H.R Bukhari dan Muslim )

e.       Jaiz atau Mubah, Jika luqathah ditemukan dibumi tak bertuan atau dijalan yang tidak dimiliki seseorang atau di selain tanah haram Mekkah. Didalam kasus semacam ini, seseorang diperkenankan memilih antara memungut luqathah untuk dijaga dan dimiliknya setelah luqathah diumumkan, atau membiarkannya. Namun lebih diutamakan memungut luqathah jika dia percaya mampu menangani berbagai persoalan yang berkenaan dengan luqathah.[13]

2.11          Macam-Macam BendaTemuan

Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut:[14]

a.       Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama  seperti emas, perak, dan jenis barang berharga dan kekayaan lainnya. Barang semacam ini wajib diumumkan dengan menerangkan enam macam perkara, wadah, tutup, tali pengaman, jenis barang, jumlah dan berat barang, serta dia harus menaruhnya di tempat penyimpanan yang layak. Sewaktu memberitahukannya nanti hendaklah sebagian dari sifat-sifat itu diterangkan dan jangan semuanya agar tidak tidak terambil orang-orang yang tidak berhak.
Sabda Nabi Muhammad SAW :

عن زَيدِبن خَالدٍ أَنَّ النبيّ  صلى الله عله  عليه  وسلم سُئل عن لُقَطَة  الذَّهب أوالورق فَقَال  اعرف عفاصهاَ وَوِكَاءَهَا  ثُمَ  عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا فَاَدّهَاإِلَيهِ والا فَشَاءْنُكَ بهَا                                                              
“ Dari Zaid bin Khalid, sesungghnya Nabi SAW, ditanya tentang barang temuan berupa emas atau perak. Beliau menjawab : hendaklah engkau ketahui tempat ikatnya, kemudian hendaklah engkau beritahukan selama  satu tahun. Jika pemiliknya datang, hendaklah engkau berikan kepadanya, jika ia tidak datang setelah satu tahun, maka terserah kepadamu.” (HR. Bukhari Muslim) 

a.       Benda-benda yang tidak bertahan lama dan tidak dapat diawetkan, seperti makanan sejenis kurma basah yang tidak dapat dikeringkan, sayuran, berbagai jenis makanan siap saji,buah-buahan dan sebagainya. Penemu diperkenenkan memilih antara mempergunakan barang itu, asal dia sanggup menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang ; atau ia jual , uangnya hendaklah di simpan agar kelak dapat diberikan kepada pemiliknya bila bertemu.

b.      Benda-benda yang tidak tahan lama, kecuali melalui proses penanganan tertentu. Seperti susu apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemiliknya ( dijual ataukah dibuat keju )


c.       Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak. Luqathah jenis ini terdiri dari dua macam :

1)      binatang yang kuat ; berarti dapat menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas, misalnya unta, kerbau, atau kuda. Binatang seperti lebih baik dibiarkan saja. Dan jangan diambil. Sabda Rasulullah SAW.
Dari Zaid bin Khalid, “ Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang keadaan unta yang tersesat. Rasulullah Saw menjawab, “ Biarkan sajalah, tak usah engkau pedulikan.” ( Riwayat Bukhari dan Muslim )

2)      Binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap bahaya binatang yang buas. Bintang seperti ini hendaklah diambil. Sesudah diambil diharuskan melakukan salah satu dari tiga cara : Pertama disembelih, lalu dimakan, dengan syarat sanggup membayar harganya apabila bertemu dengan pemiliknya”. Kedua Dijual dan uangnya disimpan agar dapat diberikannya kepada pemiliknya . Ketiga Dipelihara dan diberi makan dengan maksud menolong semata – mata.
Sabda Raulullah SAW.
Dari Zaid bin Khalid, “ Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang keadaan kambing yang sesat.Beliau menjawab, Ambillah olehmu kambing itu, karena sesungguhnya kambing itu untukmu, kepunyaan saudaramu, atau tersia sia termakan srigala.( Riwayat Bukhari dan Muslim )


2.12          Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan

Orang yang menemukan barang temuan wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.

Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan al Bukhari dari Ubay bi Ka’ab, Dia berkataSaya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan.’’

Adanya ketentuan waktu satu tahun itu dalam riwayat diatas mengandung ajaran moral yang tinggi. Didalamnya terselip ketentuan bahwa Islam tidak membenarkan adanya pengambilan harta orang lain, dan karena Islam mengajarkan bahwa bila seseorang menemukan sesuatu yang bukan haknya maka ia dituntut supaya bersungguh-sungguh  mencari siapa pemilik barang temuan itu. Istilah satu tahun bisa diartikan akan keseriusan Islam mendidik umatnya supaya tidak terburu-buru mengambil sesuatu untuk dijadikan miliknya kalau hal itu tidak diperoleh melalui usahanya sendiri secara halal.

Dari ‘Iyadh bin Hammar R.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Jika pemungut berkata,” Siapa yang kehilangan barang berharga ( emas atau perak ) maka sebutkanlah sebagian sifat-sifat kantong dan sejenisnya. Jangan menyebutkan secara keseluruhan. Tujuannya supaya hal tersebut tidak dijadikan sandaran oleh pihak yang berdusta. Jika dia menyebutkan secara menyeluruh dikhawatirkan akan menderita kerugian. Pemungut diwajibkan menyimpan luqathah di tempat penyimpanan yang sepadan dengan jenis luqathah tersebut karena luqathah adalah amanah, seperti amanah amanah lainnya.

Pengumuman luqathah dilakukan dipasar, pintu masuk masjid, dan tempat lainnya seperti tempat perkumpulan, pertemuan, keramaiaan pasar selama satu tahun, sesuai dengan hadist Zaid al Zuhani yang telah disampaikan. Sebab tempat semacam itu lebih memudahkan untuk menemukan pemilknya. Menyampaikan pengumuman didalam masjid hukumnya makruh, kecuali Masjidil Haram, karena mempertimbangkan ketentuan umum yang berlaku, dan karena Masjidil Haram tempat berkumpulnya banyak orang, sama seperti masjid nabawi dan Masjid Aqsha.

Pengumuman wajib disampaikan secara berkala ditempat luqathah ditemukan, karena pencarian barang di tempat kehilangan barang lebih banyak dilakukan.
Pengumuman dilakukan dengan mempertimbangkan adat dari segi masa, tempat dan kadarnya. Pertama kali luqathah diumumkan setiap hari sebanyak dua kali pagi dan sore hari, kemudian diumumkan sekali dalam setiap hari, lalu seminggu satu atau dua kali. Setelah itu, kira- kira sekali dalam sebulan untuk memastikan bahwa pengumuman itu masih dalam satu paket, sekiranya tidak dilupakan bahwa pengumuman itu merupakan pengulangan pengumuman yang telah lewat.

Ketentuan dalam hadis memberikan arahan kepada penemu barang/ sesuatu yang bukan miliknya untuk melakukan hal berikut: [15]

a.       Ketika menemukan sesuatu yanng bukan milik sendiri, maka penemu, untuk sementara wajib memelihara dan menyimpannya, sampai batas waktu tertentu atau sampai pemiliknya datang untuk mengambilnya.
b.      Penemu wajib memberitahukan atau mengumumkan bahwa ada barang yang ditemukannya. Caranya: yang pertama adalah mengenali atau mengamati tanda-tanda yang membedakan dengan barang lain dan mengamati jenis dan ukurannya. Setelah itu, dengan mengumumkan kemasan (tempat) dan pengikatnya. Dengan hanya memberi tahu kemasan atau tempatnya saja, orang yang mengaku pemilik dapat dimintai keterangannya mengenai barangnya yang hilang. Hal ini mungkin untuk menjaga jatuhnya barang tersebut kepada yang bukan pemiliknya.
c.       Apabila pemiliknya datang dan ia dapat menyebutkan tanda atau ciri-ciri barang tersebut dengan pas dan sesuai dengan yang ditemukan, maka penemu harus menyerahkannya kepada orang tersebut.
d.      Jika pemiliknya tidak datang juga, waktu maksimal untuk mengumumkannya selama satu tahun. Setelah satu tahun tidak ada yang mengaku sebagai pemilik, maka penemu dapat memanfaatkannya untuk dirinya atau orang lain.


2.13          Dhallah Berupa Kambing dan Unta
Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).

Telah menceritakan kepadaku Malik dari Rabi'ah bin Abu Abdurrahman dari Yazid budak Al Munba'its, dari Zaid bin Khalid AL Juhani ia berkata; "Seorang laki-laki menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya tentang Luqathah (barang temuan), beliau lalu bersabda: 'Kenalilah tutup dan talinya, lalu umumkan selama satu tahun. Jika pemiliknya datang maka berikanlah, dan jika tidak maka itu menjadi milikmu." laki-laki itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kambing yang tersesat?" Beliau menjawab: "Kambing itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala." Laki-laki itu bertanya lagi; "Bagaimana dengan unta yang tersesat? ' beliau menjawab: "Apa urusanmu dengan unta, ia bisa minum dan punya kaki! Ia akan mencari minum dan makannya sendiri hingga bertemu dengan pemiliknya."


2.14          Laqith
            Laqith adalah  menemukan anak kecil yang belum dewasa yang tersesat dijalan atau ditempat lain yang tidak diketahui siapa keluarganya. Anak itu tidak mengetahui jalan untuk pulang kepada keluarganya dan tidak mengetahui dimana orang tuanya berada. Anak yang dalam kondisi demikian kedalam istilah al Laqith. Ia dikhawatirkan akan semakin tersesat atau akan teraniaya oleh berbagai sebab.[16]
            Memungut anak yang hilang itu hukumnya mandub, sebab perbuatan yang demikian termasuk amal yang utama guna menyelamatkannya. Akan tetapi, bila dikhawatirkan anak itu akan teraniaya kalau tidak dipungut maka hukum mengambilnya menjadi fardu kifayah. Dan bila timbul kekhawatiran bahwa anak itu akan teraniaya bila tidak dipungut maka hukumnya wajib atas pihak yang menemukannya.[17]

2.15          Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang Yang Kecil nilainya

Menurut pendapat ashah tidak diharuskan mengumumkan temuan selama satu tahun bila sedikit jumlahnya, tidak begitu berharga, tidak dapat diukur dengan standart apapun, atau sesuatu yang tidak menimbulkan kesedihan mendalam dan lazimnya tidak begitu dihiraukan ketika barang itu hilang.

Sedikit banyaknya sesuatu dapat diukur dengan standart uang dirham atau dinar, hal ini sesuai pernyataan Aisyah, “ Tidak ada masalah memanfaatkan sesuatu dibawah satu dirham.” Atau dapat diukur dengan standar jumlah kekayaan yang dicuri yang tidak sampai dihukum potong tangan, yaitu seperempat dinar atau 3 dirham.

Batasan barang yang paling sedikit jumlahnya adalah sesuatu yang diduga kuat bahwa pihak yang kehilangan tidak banyak meratapinya dan umumnya pencarian barang dilakukan dalam tempo yang relatif singkat.Namun ketika pemungut menemukan sesuatu barang yang tidak berharga seperti sebiji anggur, kurma dan sejenisnya dia tidak harus mengumumkannya.[18]

Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.”


2.16          Hikmah Mengambil Barang Temuan

a.       Sebagai pengamanan (menyelamatkan) barang yang tidak diketahui pemiliknya.
b.      Menghormati hak milik orang dan memisahkannya dari hak milik pribadi.
c.       Mendidik untuk berlaku jujur dan percaya diri, terutama bagi yang menemukan barang.
d.      Menumbuhkan rasa solidaritas (rasa kesetiakawanan) dalam hidup bermasyarakat
e.       Membahagiakan orang yang kehilangan barang apabila barangya itu ditemukan, kemudian diserahkan kepadanya.














BAB III
KESIMPULAN


Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar IbnKhusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun. landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt


Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Kebanyakan kata luqathah dipakai untuk barang temuan yang sifatnya umum. Adapun untuk hewan sering disebut dhallah dan temuan untuk manusia sering disebut laqith.
Hukum al-Luqathah berubah-ubah tergantung dari kondisi tempat dan penemunya. Hukum al-Luqathah antara lain wajib, sunnat, makruh, Mubah bahkan haram.
Barang-barang yang dapat ditemukan manusia antara lain, Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama  seperti emas, perak, dan jenis barang berharga dan kekayaan lainnya. Benda-benda yang tidak tahan lama, kecuali melalui proses penanganan tertentu seperti susu apabila dibuat keju.Benda yang tidak tahan lama,  Benda yang  perlu perawatan dan perbelanjaan seperti  binatang ternak , dan Laqith

  


DAFTAR PUSTAKA


Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’i, Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984
Anwar Moh. Fiqih Islam. Subang : Pt. Alma’arif. 1988
Enizar, Syarah Hadis Ekonomi. STAIN Jurai Siwo Metro. 2009.
Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang: CV. Asy Syifa, 1992
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, Jakarta: Pustaka Azimi, 2005
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, Karya Indah : Jakarta, 1986
Karim , Helmi,. Fiqh Muamalah. Jakarta :  Pt Raja Grafindo persada.1997
Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001
Rahman Abdul dan Ahmad Rofiq, Fiqih 2. Bandung :  CV. Armico,1988.
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, At-Tahairriyah : Jakarta, 1976
Taqiyuddin abubakar Imam, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina Iman,2000
Zuhali Wahbah,  Fiqih Imam Syafi’i jilid II , Jakarta : PT Niaga Swadaya, 2010, Fiqhul Islam wa adillatuhu jilid V 













[1] Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Juz 2, ( Beirut, Libanon: Dar al-Kitab Ilmiah, 1991), hlm. 190.
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (At-Tahairriyah : Jakarta, 1976), hlm. 319.
[3] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, (Karya Indah : Jakarta, 1986), hlm. 144.

[5] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azimi, 2005), hlm. 257-258.

[6] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.227.
[7] Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1992), hlm. 189-190.
[8] Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’i, (Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984), hlm. 331.


[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002 ) hal. 197-198
[11] Hendi Suhendi Op.cit  hal 199-200
[12] Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II ( Mesir : Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Halabiy wa awladih, 1960 )  hal. 282
[13] Wahbah Zuhali.. Op.cit. hal. 402
[14] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010 ) hal. 333
[15] Enizar. Syarah Hadis Ekonomi. (Metro:  STAIN Jurai Siwo, 2009 ) Hal.  96-97
[16] Helmi Karim, Fiqh Muamalah. (Jakarta : Pt Raja Grafindo persada, 1997 ) hal. 62
[17] Ibid
[18] Wahbah Zuhali,.op.cit. hal.412

Tidak ada komentar:

Posting Komentar