BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Secara tidak sengaja sering kali kita menemukan barang dijalan dan kita bingung harus berbuat apa terhadap barang tersebut, mau diambil atau dibiarkan saja. Kalau mau mengambil apa diperbolehkan dalam Islam, dan kalau barang tersebut dibiarkan saja apakah tidak mubadhir.Hal ini terjadi karena kita tidak mengetahui hukum menemukan barang temuan (Luqathah).
Tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang bersangkutan.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas dua diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Luqathah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah yang sangat besar untuk kehidupan sosial.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ihya ul-mawat itu?
2. Apa landasan hukum dari ihya ul-mawat itu?
3. Apa yang dimaksud dengan barang temuan (Luqathah)
4. Bagaimana hukum pengambilan barang temuan?
1.3
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian
dari ihya ul-mawat.
2.
Untuk mengetahui
hukumnya dari akad ihya ul-mawat.
3.
Untuk mengetahui
pegertian barang temuan (Luqathah)
4.
Mengetahui hukum
pengambilan barang temuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ihya’
Al-Mawat
Kata ihya’
al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan
dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’
al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati.
Menurut Abu Bakar IbnKhusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah
tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya.[1] Al-Rafi’i
mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya
dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.
Dengan kata lain, menghidupkan
tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun, sehingga bisa
menghidupkannya yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah,
berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
Menurut Sulaiman Rasjid ihya’
al-mawat adalah membuka tanah baru yakni tanah yang belum dikerjakan
oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak dimiliki oleh seorang atau tidak
diketahui pemiliknya.[2] Idris
Ahmad mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah
kosong untuk dijadikan kebun sawah dan yang lainnya.[3]
Menurut ulama’
Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو
بعد
Artinya : Penggarapan
tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari
pemukiman maupun dekat.
Dari pengertian di atas
jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah
penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk
dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan,
“pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa
memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum
dimiliki seseorang”.[4]
Al-qur’an tidak
memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan
rinci. Al-qur’an hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran
di atas bumi untuk mencari karunia Allah sebagaimana terdapat dalam surat
al-Jumu’ah ayat 10.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini menganjurkan setiap
muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka
menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai
dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani
maka bercocok tanam di lahannya. Oleh karena itu ayat ini
menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif bekerja dan memproduktifkan
segala aspek yang berguna untuk kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini
menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena
menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin
meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk
menghidupkan lahan kosong.
2.2
Dasar Hukum Ihya’
Al-Mawat
Adapun landasan hukum
menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang
didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur
akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dalam kitab Kifayatul
Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan
syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang
dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.
Hadis-hadist yang
berkenaan dengan ihya’ al-mawat
عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست
لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)[5]
Artinya
: Dari Aisyah r.a : Nabi saw pernah bersabda, “ orang yang mengolah
lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan
demikian pada masa kekhalifahannya (H.R Bukhari)
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: أجلى عمر رضي الله عنه اليهود والنصارى من أرض
الحجاج, وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم لما ظهر على خير, أراد اخراج اليهود
منها, وكانت الأرض حين ظهر عليها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم وللمسلمين وأراد
إخراج اليهود منها, فسأ لت اليهود رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقرهم بها ان
يكفوا عملها, ولهم نصف الثمر, فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : (نقركم بها
على ذلك ماشئنا) فقروا بها حتى أجلى هم عمر ألى تيماء وأريحاء (رواه
البخارى)
Artinya: Dari
Ibnu Umar r.a : Umar r.a mengeluarkan orang-orang yahudi dan nasrani dari hijaz
pada saat menaklukan khaibar, rasulullah saw hendak mengeluarkan orang-orang
yahudi dari tanah itu, sehingga tanah itu menjadi hak milik Allah, Rasulnya dan
umat Islam. Tetapi mereka memohon agar tetap dibiarkan tinggal disana dengan
syarat mereka akan mengelola tanah itu dan memperoleh separo buah-buahan (hasil
mengelola tanah itu). Rasulullah saw bersabda kepada mereka, “kami akan
membiarkan kalian tinggal disini selama kami mau,” maka mereka (orang-orang
yahudi) tinggal disana hingga umar (pada masa kekhalifahannya) memindahkan
mereka Tayma dan Ariha. (H.R. Bukhari)
Artinya: Dari
Jabir r.a, bahwasanya Nabi saw bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan
tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan
At-Turmudzy)
وعن سعيد بن زيد قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. من أحيا ارضا ميتتا
فهى له, وليس لعرق ظالم حق (رواه احمد وابو داود والترمذى)
Artinya: Dari
Said bin Jaid berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang
menghidupkan lahan mati maka lahan itu menjadi miliknya, tidak ada suatu hak
bagi yang mempunyai akar pohon yang zalim atau orang yang zalim (H.R Ahmad, Abu
dawud, dan Turmudzy)
وعن أسمر بن مضرس قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فبا يعته, فقال
"من سبق الى مالم يسبق اليه مسلم فهو له" قال : فخرج الناس يتعادون
يطخاطون (رواه ابو داود)
Artinya: Dari
Asmar bin Mudarris berkata : saya datang menemui Nabi, dan membai’atkannya,
Nabi bersabda : Barang siapa yang lebih dahulu melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh seseorang muslim yang lain sebelumnya, tanah tersebut menjadi
miliknya, Asmar berkata : maka beberapa orang berlomba menuju lahan kosong
untuk membuat patok menandai bahwa tanah itu miliknya (H.R. Abu Dawud)
2.3
Cara-cara Ihya’
Al-Mawat
Adapun cara-cara
menghidupkan lahan mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang
disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan
kebiasaan masyarakat. Pengolahan lahan yang menjadi obyek Ihya’ al-Mawat menurut
ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah dengan menggarapnya sebagai lahan
pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya,
mencangkul lahannya untuk pertanian, membuat saluran irigasi, baik dengan
menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan
pepohonan atau tanaman yang menghasilkan, serta memagarnya.
Ulama Syafi’iyah
menyatakan cara untuk mengolah lahan kosong yang tidak dimiliki seseorang
dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu
dimaksudkan untuk tempat tinggal, maka lahan itu perlu dipagar dan membangun
rumah di atasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian, maka lahannya diolah,
irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur maupun mengambil air dari sungai,
dan menanami lahan itu dengan tanaman produktif sesuai dengan keinginannya.
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa Ihya’ al-Mawat itu cukup
dengan dilakukan dengan memagar sekeliling lahan yang ingin digarap, baik untuk
lahan pertanian, tempat gembala hewan ternak, maupun untuk perumahan.
Akan tetapi, ulama fiqh
lain menyatakan bahwa ihya’ al-mawat tidak cukup hanya dengan
memagar sebidang lahan, tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau
perumahan. Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan
tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan
bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan
masyarakat. Adapun cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut:
a) Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di
mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk
dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat
mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
b) Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum
dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang
menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan
tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami
pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan
pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang
luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang
menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan
dikuasai olehnya.
d) Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya,
dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang
mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.[7]
2.4
Obyek Yang Berkaitan
Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang
berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah
mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa
dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam
(khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun
hanya mubah bagi imam. Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah
milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta
sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah Saw, di mana dia tidak bisa
memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau
seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena
dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya
atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta
Rasul Saw agar memberikannya.
Siapa saja yang
menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah usyuriyah, maka
dia bisa memiliki lahan dan kegunaannya sekaligus, baik muslim maupun
non-muslim. Bagi seorang muslim wajib membayar usyurdari panen
tanaman dan buah-buahannya sebagai zakat yang diwajibkan atas tanaman dan
buah-buahannya, apabila telah mencapai satu nisab. Sementara bagi non-muslim
tidak wajib membayar zakat, baik usyur maupunkharaj. Sebab,
orang non-muslim tidak termasuk orang yang wajib membayar zakat, sehingga dia
bisa diwajibkan. Disamping karena kharaj memang tidak
diwajibkan atas tanah usyuriyah.
Siapa saja yang
menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah kharajiyah, yang
belum pernah dipungutkharaj-nya, maka ia berhak memiliki lahan dan
kegunaannya sekaligus, bila dia seorang muslim dan hanya berhak memiliki
kegunaannya, bila dia seorang non-muslim. Bagi seorang muslim, hanya wajib
membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Sedangkan
bagi orang non-muslim wajib membayar kharaj, sebagaimana yang telah
ditetapkan atas penduduk tanah yang non-muslim, ketika mereka dibiarkan pada
saat penaklukan, sebagai kompensasi kharaj yang harus mereka
keluarkan.
Siapa pun yang telah
menghidupkan sebidang tanah mati, di atas tanah kharajiah yang
sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut
berubah menjadi tanah mati, maka orang yang bersangkutan hanya berhak memiliki
kegunaannya, sementara lahannya tidak, baik muslim maupun non-muslim. Oleh
karena itu, masing-masing tetap diwajibkan membayar kharaj, sebab
tanah tersebut berstatus sebagai tanah yang ditaklukan yang harus diambil kharaj-nya.
Dengan demikian, kharaj tersebut tetap wajib atas tanah tadi
sepanjang masa, baik tanah tadi dimiliki oleh seorang muslim maupun non-muslim.
Ini adalah ketentuan menghidupkan tanah untuk ditanami.
Tidak semua lahan
kosong yang boleh dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat. Menurut Ibn
Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang
belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang
menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada
pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat
dan lain sebagainya. Lahan seperti ini ada dua riwayat: pertama, boleh dimiliki
dengan cara menghidupkannya berdasarkan hadis Nabi Saw:
عادى الرض لله ولرسوله ثم هي لكم بعد
Artinya : Tanah
tertinggal adalah milik Allah dan Rasulnya, kemudian diserahkan kepadamu
sekalian.
Para ulama fiqh juga
membagi lahan itu kepada dua bagian, yaitu yang boleh menjadi obyek ihya
al-mawatdan yang tidak boleh. Para ulama sepakat menyatakan bahwa lahan
yang belum dimiliki seseorang, tidak ada tanda-tanda lahan itu digarap, dan di
lahan itu tidak ada bangunan, boleh digarap oleh siapapun. Ulama juga
sepakat menyatakan bahwa sebidang tanah yang telah menjadi milik seseorang,
sekalipun belum dimanfaatkan, tidak bisa dijadikan obyek Ihya’ al-Mawat.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat yang terletak pada masalah:
1.
Tanah yang sudah ada
pemiliknya akan tetapi ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga terlantar dan
kembali seperti tanah mati yang tidak ada pemiliknya. Syafi’iyah dan Hanabilah
mengatakan bahwa lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan oleh orang lain karena
hadis hanya memberikan alasan kebolehan menghidupkan tanah mati itu dengan
tanah yang tidak punya pemilik, dan kepemilikan harta tidak hilang karena
ditinggalkan. Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah mengatakan tanah seperti ini
boleh dihidupkan kalau tidak diketahui lagi siapa pemiliknya karena pemiliknya
jauh dari pemukiman penduduk sekiranya seseorang menyerunya sekeras-kerasnya
pemilik tanah tidak mendengar suara tersebut.
2.
Tanah yang di atasnya
dijumpai peninggalan-peninggalan sejarah klasik seperti peninggalan kaum Rum,
Samud, dan lain sebagainya. Tanah seperti ini boleh dihidupkan menurut mazhab
yang empat didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
عادي الأرض لله ولرسوله ثم هو بعد لكم
3.
Tanah itu telah
dimiliki orang Islam atau kafir zimmi akan tetapi tidak dikenal siapa
pemiliknya, Menurut Syafi’i tanah itu tanah kosong. Pengelolaannya diserahkan
kepada pemerintah demikian juga penentuan kepemilikannya. Pemerintah juga
berhak menjualnya dengan menyimpan uangnya atau mengqiradkannya di bait al-mal
dan tidak boleh dihidupkan orang lain.
2.5
Hukum-hukum Ihya’
Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad
Ibn Qasyim al-Ghazzi: Ihya’ al-Mawat (menghidupkan bumi mati)
hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:
1. Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya
menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2. Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam
pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status
jelas merdeka.
Para ulama Fiqh
menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi
syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah:[8]
1. Pemilikan lahan itu.
Mayoritas
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang
lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi,
Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang
menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia
menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan,
maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
2. Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Apabila
seseorang telah menggarap suatu lahan menjadi pertanian, bagaimana kaitannya
dengan pemerintah?
Menurut
ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil
pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi,
apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya
sebesar 10%.
3. Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila
seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk
menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk
keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum
boleh.
2.6
Syarat-syarat Ihya’
al-Mawat
Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat Ihya’ al-Mawat ada
3 yaitu :
1)
Orang yang menggarap
2)
Lahan yang akan digarap
3)
Proses penggarapan.
a.
Syarat yang terkait
dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’
Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap
lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau
orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak
milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai
orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang
seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan
menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh
memiliki lahan yang ada di negara Islam.
b.
Syarat yang terkait
dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan
tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada
di negara islam maupun bukan, bukan lahan yang dimilki seseorang,
baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi
suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala
ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.
Syarat yang terkait
dengan penggarapan lahan
menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang
menjadi objek Ihya’ al-Mawat jika digarap oleh seseorang tidak
perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta
yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada yang
mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap
menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian
hari.
2.7
Izin Penguasa
Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda
pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib
diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis
menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa
(pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan
mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan
sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari
penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf
menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf
menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang
saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam
itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin
dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas
tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha
menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa
menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik
membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang
jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin
penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin
penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan
itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa yang membuka
lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan
kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan
memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu,
untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran
tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu
merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan
asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya
terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa
seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya
2.8 Pengertian Luqathah
Menurut Wahbah Zuhaili
Ulama terkenal madzhab Syafii asal Syiria dalam kitabnya Fiqhul Islam wa
adillatuhu menyebutkan bahwa Luqathah adalah:
“Sesuatu yang dikutip
berupa manusia, atau harta atau hewan”
Luqathah ialah harta
yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain.
Luqathah adalah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan
sebagainya. Kebanyakan kata Luqathah dipakai untuk barang temuan selain hewan.
Adapun untuk hewan sering disebut dhallah.
Secara lugas dalam
hadis diterangkan bahwa barang temuan adalah milik seseorang yang terpisah dari
orang tersebut. Barang temuan dalam bahasa Arab (Bahasa Fuqaha) disebut
al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah sesuatu yang ditemukan
atau didapat.
Sedangkan menurut
istilah ( Terminologi ) yang dimaksud dengan al-Luqathah sebagaimana yang
dita’rifkan oleh para ulama sebagai berikut:[10]
a. Muhamad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa al-Luqathah ialah: “Sesuatu
yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang menemukan
tidak mengetahui mustahiqnya”.
b. Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah berpendapat, bahwa yang
dimaksud dengan al-Luqathah ialah: “Sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara
khusus semerbak ditemukan di daerah harby, tidak terpelihara dan tidak dilarang
karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.
c. Al-Imam Taqiy al-Din Abii Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-Luqathah menurut
syara’ ialah:
Pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau
dimilikinya setelah diumumkan” .
2.9
Rukun Luqathah
Rukun-rukun dalam Luqathah ada 3 yakni :
1)
memungut luqathah (
Iltiqath)
2)
Benda-benda atau
barang-barang yang ditemukan ( Multaqath )
3)
Penemu ( Multaqith )
2.10
Hukum Pengambilan
Barang Temuan
Hukum pengambilan
barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan
penemunya, hukum pengmbilan barang temuan antara lain sebagai berikut: [11]
a.
Wajib, yakni wajib
mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada
dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana
mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan
hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Menurut suatu pendapat , hukum memungut luqathah wajib, jika luqathah ditemukan
ditempat yang tidak aman. Hal ini sesuai dengan firman Allah “ Orang- Orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain” ( Q.S at Taubah : 71 ) Sebab, sebagian kaum mukminin wajib
menjaga kekayaan sebagian kaum mukminin lainnya.
b.
Sunnat, sunnat
mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada
dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana
mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang –barang tersebut tidak
dikhawatirkan akan hilang sia-sia.
c.
Makruh, Imam Malik dan
kelompok Hanabilah juga sepakat bahwa memungut barang temuan itu hukumnya
makruh, alasannya adalah karena seseorang tidak boleh mengambil harta
saudaranya serta dikhawatirkan orang yang mengambil itu bersifat lalai menjaga
atau memberitahukannya.[12]
d.
Haram, bagi orang yang
menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena
penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang
tersebut.
Hukum memungut luqathah
juga haram jika berada dikawasan tanah haram ( Mekah ) Apabila seseorang
memungut luqathah dengan berniat memilikinya, dia harus mengganti karena dia
telah bertindak lalai. Hal ini sesuai dengan hadist ,” Barang yang jatuh di
Tanah Haram Mekah tidak halal kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya (
H.R Bukhari dan Muslim )
e.
Jaiz atau Mubah, Jika
luqathah ditemukan dibumi tak bertuan atau dijalan yang tidak dimiliki
seseorang atau di selain tanah haram Mekkah. Didalam kasus semacam ini,
seseorang diperkenankan memilih antara memungut luqathah untuk dijaga dan
dimiliknya setelah luqathah diumumkan, atau membiarkannya. Namun lebih
diutamakan memungut luqathah jika dia percaya mampu menangani berbagai
persoalan yang berkenaan dengan luqathah.[13]
2.11
Macam-Macam BendaTemuan
Terdapat macam-macam
benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan itu adalah
sebagai berikut:[14]
a.
Benda-benda tahan lama,
yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama seperti emas,
perak, dan jenis barang berharga dan kekayaan lainnya. Barang semacam ini wajib
diumumkan dengan menerangkan enam macam perkara, wadah, tutup, tali pengaman,
jenis barang, jumlah dan berat barang, serta dia harus menaruhnya di tempat
penyimpanan yang layak. Sewaktu memberitahukannya nanti hendaklah sebagian dari
sifat-sifat itu diterangkan dan jangan semuanya agar tidak tidak terambil
orang-orang yang tidak berhak.
Sabda Nabi Muhammad SAW
:
عن زَيدِبن خَالدٍ
أَنَّ النبيّ صلى الله عله عليه وسلم سُئل عن لُقَطَة
الذَّهب أوالورق فَقَال اعرف عفاصهاَ وَوِكَاءَهَا ثُمَ
عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا فَاَدّهَاإِلَيهِ والا فَشَاءْنُكَ
بهَا
“ Dari Zaid bin Khalid,
sesungghnya Nabi SAW, ditanya tentang barang temuan berupa emas atau perak.
Beliau menjawab : hendaklah engkau ketahui tempat ikatnya, kemudian hendaklah
engkau beritahukan selama satu tahun. Jika pemiliknya datang, hendaklah
engkau berikan kepadanya, jika ia tidak datang setelah satu tahun, maka
terserah kepadamu.” (HR. Bukhari Muslim)
a.
Benda-benda yang tidak
bertahan lama dan tidak dapat diawetkan, seperti makanan sejenis kurma basah
yang tidak dapat dikeringkan, sayuran, berbagai jenis makanan siap
saji,buah-buahan dan sebagainya. Penemu diperkenenkan memilih antara mempergunakan
barang itu, asal dia sanggup menggantinya apabila bertemu dengan yang punya
barang ; atau ia jual , uangnya hendaklah di simpan agar kelak dapat diberikan
kepada pemiliknya bila bertemu.
b.
Benda-benda yang tidak
tahan lama, kecuali melalui proses penanganan tertentu. Seperti susu apabila
dibuat keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi
pemiliknya ( dijual ataukah dibuat keju )
c.
Benda-benda yang
memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak. Luqathah jenis ini terdiri
dari dua macam :
1) binatang yang kuat ; berarti dapat menjaga dirinya sendiri terhadap
binatang yang buas, misalnya unta, kerbau, atau kuda. Binatang seperti lebih
baik dibiarkan saja. Dan jangan diambil. Sabda Rasulullah SAW.
Dari Zaid bin Khalid, “
Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang keadaan unta yang
tersesat. Rasulullah Saw menjawab, “ Biarkan sajalah, tak usah engkau
pedulikan.” ( Riwayat Bukhari dan Muslim )
2) Binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap bahaya binatang
yang buas. Bintang seperti ini hendaklah diambil. Sesudah diambil diharuskan
melakukan salah satu dari tiga cara : Pertama disembelih, lalu
dimakan, dengan syarat sanggup membayar harganya apabila bertemu dengan
pemiliknya”. Kedua Dijual dan uangnya disimpan agar dapat
diberikannya kepada pemiliknya . Ketiga Dipelihara dan diberi
makan dengan maksud menolong semata – mata.
Sabda Raulullah SAW.
Dari Zaid bin Khalid, “
Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang keadaan kambing yang sesat.Beliau
menjawab, Ambillah olehmu kambing itu, karena sesungguhnya kambing itu untukmu,
kepunyaan saudaramu, atau tersia sia termakan srigala.( Riwayat Bukhari dan
Muslim )
2.12
Kewajiban Orang Yang
Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan
barang temuan wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan
kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak
selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta
ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya,
meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.
Sesuai dengan hadist
yang diriwayatkan al Bukhari dari Ubay bi Ka’ab, Dia berkataSaya pernah
menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang
kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan
selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang
mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau
bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama
setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi)
kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah
isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang
(menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan.’’
Adanya ketentuan waktu
satu tahun itu dalam riwayat diatas mengandung ajaran moral yang tinggi.
Didalamnya terselip ketentuan bahwa Islam tidak membenarkan adanya pengambilan
harta orang lain, dan karena Islam mengajarkan bahwa bila seseorang menemukan
sesuatu yang bukan haknya maka ia dituntut supaya bersungguh-sungguh
mencari siapa pemilik barang temuan itu. Istilah satu tahun bisa diartikan akan
keseriusan Islam mendidik umatnya supaya tidak terburu-buru mengambil sesuatu
untuk dijadikan miliknya kalau hal itu tidak diperoleh melalui usahanya sendiri
secara halal.
Dari ‘Iyadh bin Hammar
R.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang
temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil,
kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika
pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika
tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya.”
Jika pemungut berkata,”
Siapa yang kehilangan barang berharga ( emas atau perak ) maka sebutkanlah
sebagian sifat-sifat kantong dan sejenisnya. Jangan menyebutkan secara
keseluruhan. Tujuannya supaya hal tersebut tidak dijadikan sandaran oleh pihak
yang berdusta. Jika dia menyebutkan secara menyeluruh dikhawatirkan akan
menderita kerugian. Pemungut diwajibkan menyimpan luqathah di tempat penyimpanan
yang sepadan dengan jenis luqathah tersebut karena luqathah adalah amanah,
seperti amanah amanah lainnya.
Pengumuman luqathah
dilakukan dipasar, pintu masuk masjid, dan tempat lainnya seperti tempat
perkumpulan, pertemuan, keramaiaan pasar selama satu tahun, sesuai dengan
hadist Zaid al Zuhani yang telah disampaikan. Sebab tempat semacam itu lebih
memudahkan untuk menemukan pemilknya. Menyampaikan pengumuman didalam masjid
hukumnya makruh, kecuali Masjidil Haram, karena mempertimbangkan ketentuan umum
yang berlaku, dan karena Masjidil Haram tempat berkumpulnya banyak orang, sama
seperti masjid nabawi dan Masjid Aqsha.
Pengumuman wajib
disampaikan secara berkala ditempat luqathah ditemukan, karena pencarian barang
di tempat kehilangan barang lebih banyak dilakukan.
Pengumuman dilakukan
dengan mempertimbangkan adat dari segi masa, tempat dan kadarnya. Pertama kali
luqathah diumumkan setiap hari sebanyak dua kali pagi dan sore hari, kemudian
diumumkan sekali dalam setiap hari, lalu seminggu satu atau dua kali. Setelah
itu, kira- kira sekali dalam sebulan untuk memastikan bahwa pengumuman itu
masih dalam satu paket, sekiranya tidak dilupakan bahwa pengumuman itu
merupakan pengulangan pengumuman yang telah lewat.
Ketentuan dalam hadis
memberikan arahan kepada penemu barang/ sesuatu yang bukan miliknya untuk
melakukan hal berikut: [15]
a. Ketika menemukan sesuatu yanng bukan milik sendiri, maka penemu, untuk
sementara wajib memelihara dan menyimpannya, sampai batas waktu tertentu atau
sampai pemiliknya datang untuk mengambilnya.
b. Penemu wajib memberitahukan atau mengumumkan bahwa ada barang yang
ditemukannya. Caranya: yang pertama adalah mengenali atau mengamati tanda-tanda
yang membedakan dengan barang lain dan mengamati jenis dan ukurannya. Setelah
itu, dengan mengumumkan kemasan (tempat) dan pengikatnya. Dengan hanya memberi
tahu kemasan atau tempatnya saja, orang yang mengaku pemilik dapat dimintai
keterangannya mengenai barangnya yang hilang. Hal ini mungkin untuk menjaga
jatuhnya barang tersebut kepada yang bukan pemiliknya.
c. Apabila pemiliknya datang dan ia dapat menyebutkan tanda atau ciri-ciri
barang tersebut dengan pas dan sesuai dengan yang ditemukan, maka penemu harus
menyerahkannya kepada orang tersebut.
d. Jika pemiliknya tidak datang juga, waktu maksimal untuk mengumumkannya
selama satu tahun. Setelah satu tahun tidak ada yang mengaku sebagai pemilik,
maka penemu dapat memanfaatkannya untuk dirinya atau orang lain.
2.13
Dhallah Berupa Kambing
dan Unta
Barangsiapa mendapatkan
dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan,
manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud
kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang
menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya,
karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).
Telah menceritakan
kepadaku Malik dari Rabi'ah bin Abu Abdurrahman dari Yazid budak Al Munba'its,
dari Zaid bin Khalid AL Juhani ia berkata; "Seorang laki-laki
menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya tentang Luqathah
(barang temuan), beliau lalu bersabda: 'Kenalilah tutup dan talinya, lalu
umumkan selama satu tahun. Jika pemiliknya datang maka berikanlah, dan jika
tidak maka itu menjadi milikmu." laki-laki itu bertanya lagi, "Wahai
Rasulullah, bagaimana dengan kambing yang tersesat?" Beliau menjawab:
"Kambing itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala."
Laki-laki itu bertanya lagi; "Bagaimana dengan unta yang tersesat? '
beliau menjawab: "Apa urusanmu dengan unta, ia bisa minum dan punya kaki!
Ia akan mencari minum dan makannya sendiri hingga bertemu dengan
pemiliknya."
2.14
Laqith
Laqith adalah
menemukan anak kecil yang belum dewasa yang tersesat dijalan atau
ditempat lain yang tidak diketahui siapa keluarganya. Anak itu tidak mengetahui
jalan untuk pulang kepada keluarganya dan tidak mengetahui dimana orang tuanya
berada. Anak yang dalam kondisi demikian kedalam istilah al Laqith. Ia
dikhawatirkan akan semakin tersesat atau akan teraniaya oleh berbagai sebab.[16]
Memungut
anak yang hilang itu hukumnya mandub, sebab perbuatan yang demikian termasuk
amal yang utama guna menyelamatkannya. Akan tetapi, bila dikhawatirkan anak itu
akan teraniaya kalau tidak dipungut maka hukum mengambilnya menjadi fardu
kifayah. Dan bila timbul kekhawatiran bahwa anak itu akan teraniaya bila tidak
dipungut maka hukumnya wajib atas pihak yang menemukannya.[17]
2.15
Hukum (Barang Temuan)
Berupa Makanan Dan Barang Yang Kecil nilainya
Menurut pendapat ashah tidak
diharuskan mengumumkan temuan selama satu tahun bila sedikit jumlahnya, tidak
begitu berharga, tidak dapat diukur dengan standart apapun, atau sesuatu yang
tidak menimbulkan kesedihan mendalam dan lazimnya tidak begitu dihiraukan
ketika barang itu hilang.
Sedikit banyaknya
sesuatu dapat diukur dengan standart uang dirham atau dinar, hal ini sesuai
pernyataan Aisyah, “ Tidak ada masalah memanfaatkan sesuatu dibawah satu
dirham.” Atau dapat diukur dengan standar jumlah kekayaan yang dicuri yang
tidak sampai dihukum potong tangan, yaitu seperempat dinar atau 3 dirham.
Batasan barang yang
paling sedikit jumlahnya adalah sesuatu yang diduga kuat bahwa pihak yang
kehilangan tidak banyak meratapinya dan umumnya pencarian barang dilakukan
dalam tempo yang relatif singkat.Namun ketika pemungut menemukan sesuatu barang
yang tidak berharga seperti sebiji anggur, kurma dan sejenisnya dia tidak harus
mengumumkannya.[18]
Dari Anas ra ia
berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau
bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk
tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.”
2.16
Hikmah Mengambil Barang
Temuan
a. Sebagai pengamanan (menyelamatkan) barang yang tidak diketahui pemiliknya.
b. Menghormati hak milik orang dan memisahkannya dari hak milik pribadi.
c. Mendidik untuk berlaku jujur dan percaya diri, terutama bagi yang menemukan
barang.
d. Menumbuhkan rasa solidaritas (rasa kesetiakawanan) dalam hidup
bermasyarakat
e. Membahagiakan orang yang kehilangan barang apabila barangya itu ditemukan,
kemudian diserahkan kepadanya.
BAB III
KESIMPULAN
Kata ihya’
al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan
dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’
al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati.
Menurut Abu Bakar IbnKhusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah
tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Al-Rafi’i
mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya
dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun. landasan hukum menghidupkan
lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang
didasarkan pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur
akan mendapatkan pahala dari Allah Swt
Luqathah ialah harta
yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain.
Kebanyakan kata luqathah dipakai untuk barang temuan yang sifatnya umum. Adapun
untuk hewan sering disebut dhallah dan temuan untuk manusia sering disebut
laqith.
Hukum al-Luqathah
berubah-ubah tergantung dari kondisi tempat dan penemunya. Hukum al-Luqathah
antara lain wajib, sunnat, makruh, Mubah bahkan haram.
Barang-barang yang
dapat ditemukan manusia antara lain, Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda
yang dapat disimpan dalam waktu yang lama seperti emas, perak, dan jenis
barang berharga dan kekayaan lainnya. Benda-benda yang tidak tahan lama,
kecuali melalui proses penanganan tertentu seperti susu apabila dibuat
keju.Benda yang tidak tahan lama, Benda yang perlu perawatan dan
perbelanjaan seperti binatang ternak , dan Laqith
DAFTAR PUSTAKA
Adlchiyah Sunarto, M.
Multazam, Fiqih Syafi’i, Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984
Anwar Moh. Fiqih Islam. Subang : Pt. Alma’arif. 1988
Enizar, Syarah Hadis Ekonomi. STAIN Jurai Siwo Metro. 2009.
Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang: CV. Asy Syifa,
1992
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, Jakarta:
Pustaka Azimi, 2005
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, Karya Indah : Jakarta,
1986
Karim , Helmi,. Fiqh Muamalah. Jakarta : Pt Raja Grafindo
persada.1997
Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang : PT
Pustaka Rizki Putra, 2001
Rahman Abdul dan Ahmad Rofiq, Fiqih 2. Bandung : CV.
Armico,1988.
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo,
2010.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, At-Tahairriyah : Jakarta,
1976
Taqiyuddin abubakar Imam, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina
Iman,2000
Zuhali Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i jilid II , Jakarta
: PT Niaga Swadaya, 2010, Fiqhul Islam wa adillatuhu jilid V
[1] Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi, Asyhadul
Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Juz 2, (
Beirut, Libanon: Dar al-Kitab Ilmiah, 1991), hlm. 190.
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (At-Tahairriyah
: Jakarta, 1976), hlm. 319.
[3] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, (Karya
Indah : Jakarta, 1986), hlm. 144.
[5] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, (Jakarta:
Pustaka Azimi, 2005), hlm. 257-258.
[6] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.227.
[7] Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i,
(Semarang: CV. Asy Syifa, 1992), hlm. 189-190.
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002 ) hal. 197-198
[11] Hendi Suhendi Op.cit hal 199-200
[12] Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II ( Mesir :
Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Halabiy wa awladih, 1960 ) hal. 282
[13] Wahbah Zuhali.. Op.cit. hal. 402
[14] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. ( Bandung :
Sinar Baru Algensindo, 2010 ) hal. 333
[15] Enizar. Syarah Hadis Ekonomi. (Metro: STAIN
Jurai Siwo, 2009 ) Hal. 96-97
[16] Helmi Karim, Fiqh Muamalah. (Jakarta : Pt
Raja Grafindo persada, 1997 ) hal. 62
[17] Ibid
[18] Wahbah Zuhali,.op.cit. hal.412
Tidak ada komentar:
Posting Komentar