DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II LANDASAN TEORITIS................................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 28
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Dalam kehidupan
sehari-hari manusia hidup dengan berinteraksi terhadap sesama. Dari interaksi tersebut muncul hukum yang
mengatur interaksi manusia, hukum tersebut terbagi lagi menjadi beberapa bagian sesuai
jenis aturan hukum yang mengaturnya. Kata hukum itu sendiri berasal dari bahasa
Arab huk’mun, artinya menetapkan. Singkatnya, hukum diartikan sebagai
peraturan atau undang-undang, kaidah dan ketentuan, serta keputusan pengadilan.[1]
Manusia yang
berinteraksi sering membuat kesepakatan dalam setiap kegiatannya, contoh
seperti kedua pihak berjanji akan melakukan sebuah persetujuan untuk
menjalankan usaha ekonomi. Perjanjian itu sendiri ada yang terikat dengan hukum
dan ada yang tidak. Jika suatu perjanjian yang telah terikat dengan hukum itu
disepakati maka hal tersebut perlu dijalankan sesuai kesepakatan. Namun apabila
kesepakatan yang telah terikat dengan hukum tersebut dilanggar dan dapat
merugikan salah satu pihak yang bersepakat maka pihak yang melanggar akan
dikenai hukukman yang berlaku. Seperti yang termaktub dalam KUH-Perdata Bab III
Pasal 1365, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk mengganti kerugian tersebut.
Dari uraian
yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai
berikut:
1.
Siapa
saja pihak-pihak yang terlibat dalam kasus
dan Faktor apa yang menyebabkan dilayangkannya gugatan kepada Bank
Danamon?
2.
Bagaimana awal terjadinya kasus pelanggaran kontrak
antara Bank Danamon dengan Desta?
3.
Bagaimana
keabsahaan kontrak Bank Danamon dengan Desta?
4.
Apakah
gugatan tersebut berpengaruh kepada Bank Danamon?
5.
Bagaimana
Jalannya persidangan antara penggugat dan tergugat?
B.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam kasus dan Faktor apa yang menyebabkan
dilayangkannya gugatan kepada Bank Danamon
2.
Untuk
memahami awal terjadinya kasus pelanggaran kontrak antara Bank Danamon dengan
Desta
3.
Untuk
mengetahui keabsahaan kontrak Bank Danamon dengan Desta
4.
Untuk
mengetahui gugatan tersebut berpengaruh kepada Bank Danamon
5.
Untuk
mengetahui Jalannya persidangan antara penggugat dan tergugat
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Teori Para Pakar Hukum Mengenai Kasus Pelanggaran Kontrak
Sebelum diurai
mengenai pelanggaran kontrak, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan
pengertian kontrak terlebih dahulu. Oleh karena pengertian kontrak tidak dapat
dipisahkan dengan uraian tentang pelanggaran kontrak. Didalam
perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi
menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah ” Kaidah/ aturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antar para pihak berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum untuk melaksanakan suatu prestasi/obyek perjanjian”. Pengaturan
umum tentang kontrak diatur dalam KUH-Perdata buku III. Pengertian istilah
kontrak atau persetujuan (contract or agreement) yang diatur dalam Buku
III Bab Kedua KUH-Perdata (BW) indonesia, sama saja dengan pengertian
perjanjian.[2]
Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUH Perdata,
yakni “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan.”
Pasal 1313 KUH-Perdata
suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap orang lain atau lebih. Definisi tersebut dianggap
tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan tersebut di bawah ini.
Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada
perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi
antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih.”
Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan dirubah
menjadi: atau di mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.
Istilah hukum
perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract
law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomsrecht.[3]
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.[4]
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.
Perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum
antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan
yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan
kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan
beban.
Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau
serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu
sendiri adalah perjanjian (agreement). Atas dasar itu, Subekti mendefinisikan
kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana
dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Janji sendiri merupakan
pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu
keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan suatu perbuatan
tertentu.[5]
Orang terikat pada janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan kepada pihak
lain dalam perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang
harus dipenuhi.[6]
Menurut Sudikno
Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu
didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan
akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat
hukumnya atau tidak ada sanksinya.[7]
Berlainan dengan itu, di dalam berbagai definisi kontrak di dalam literatur
hukum kontrak common law, kontrak itu berisi serangkaian janji, tetapi yang
dimaksud dengan janji itu secara tegas dinyatakan adalah janji yang memiliki
akibat hukum dan apabila dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut ke pengadilan.[8]
Dikatakan
terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan hukum dapat mencakup perbuatan
hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Suatu
perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena perbuatan manusia dan
sebagai akibatnya timbul suatu perikatan, yakni adanya kewajiban untuk
melakukan transaksi tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari
perjanjian.[9]
J. Satrio juga
membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya
perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian
hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hubungan
perkawinan saja sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.[10]
B.
Perbedaan dan Persamaan dari Kontrak, Persetujuan, Perjanjian, dan
Perikatan
Untuk
mengetahui perbedaan dan persamaan persetujuan, perikatan, perjanjian dan
kontrak ada baiknya kami paparkan definisi masing-masing.
Definisi
persetujuan dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata(“KUH-Perdata”). suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.[11]
Mengenai
perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang.[12]
Prof. Subekti,
S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian” membedakan
pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan bahwa
hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwaperjanjian itu menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Demikian menurut Subekti.
Berikut
definisi Subekti mengenai perikatan:
“Suatu
perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Adapun
perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”[13]
Ricardo
Simanjuntak dalam bukunya menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari
pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan
yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya
akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat
dalam perjanjian tersebut.[14]
Jadi, dari
pendapat para pakar hukum tersebut di atas, persamaan yang dapat disimpulkan
antara lain:
a.
persetujuan
sama dengan perjanjian;
b.
baik
persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak melibatkan setidaknya 2 (dua)
pihak atau lebih.
c.
Dasar
hukum persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak, mengacu pada
KUHPerdata.
Mengenai
perbedaannya, dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, kita dapat
melihat perbedaannya adalah pada tahapan dan implikasinya.
Secara singkat,
perjanjian/persetujuan menimbulkan perikatan. Perikatan itu kemudian disebut
sebagai kontrak apabila memberikan konsekuensi hukum yang terkait dengan
kekayaan dan mengikat para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian.
Menurut Ricardo, sebelum memiliki konsekuensi hukum, suatu perjanjian tidak
sama artinya dengan kontrak.
C.
Syarat Sahnya Kontrak
Suatu kontrak
dianggap sah dan mengikat apabila kontrak itu telah memenuhi semua syarat
seperti yang telah ditetapkan oleh Pasal 1320 KUH-Perdata, yaitu sebagai
berikut.
1.
Sepakat
Mereka yang Mengingatkan Dirinya
Syarat adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian
yang akan mereka laksanakan maksudnya timbulnya kata sepakat tidak boleh
disebabkan adanya unsur paksaan (pasal 1324 KUH-Perdata), unsur penipuan (pasal
1328 KUH-Perdata). Dan unsur kekeliruan (pasal 1322 KUH-Perdata). Jika terbukti
bahwa kontrak tersebut dibuat atas dasar salah satu unsur tersebut, kontrak
tersebut dapat dibatalkan.
2.
Kecakapan
untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada saat menyusun suatu kontrak, para pihak secara hukum harus
sudah dewasa atau cakap berbuat. Jika salah satu pihak belum dewasa, ia dapat
diwakili oleh walinya. Namun, dalam praktik, kadang kala umur yang menjadi
tolak ukur apakah seorang itu sudah dewasa atau belum dewasa tidak dicantumkan
dalam komparasi naskah kontrak. Akan tetapi, usia para pihak jika tidak
disebutkan, maka dapat diasumsikan bahwa para pihak sudah dewasa.
3.
Mengenai
suatu Hal Tertentu (Objek Kontrak)
Secara yuridis setiap perjanjian/persetujuan/kontrak harus mencantumkan
secara jelas dan tegas apa yang mejadi objeknya sebab bila tidak dibuat secara
rinci, dapat menimbulkan ketidakpastian atau kekeliruan.
4.
Suatu
Sebab yang Halal
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak yang telah memenuhi
ketiga unsur di atas harus juga memuat alasan/sebab kenapa kontrak itu dibuat.
Dengan kata lain, perlu secara jelas dan tegas dimuat mengapa kontrak itu
dibuat. Misalnya sebagai berikut.
“bahwa pihak
pertama (pemilik show room) telah mencarterkan kepada pihak kedua
(pencarter) dan pihak kedua telah mencarter dari pihak pertama satu unit mobil
jenis mini bus merek kijang, keluaran tahun 1998, warna hijau metalik.....”
Terhadap keempat syarat diatas,
secara akademis dapat dikatakan bahwa syarat pertama dan kedua disebut ‘syarat
subjektif,’ yaitu syarat yang menyangkut subjek hukum pembuat kontrak. Apabila
kedua syarat ini dilanggar maka kontrak tersebut ‘dapat dimintakan pembatalan’
sementara itu, syarat ketiga dan keempat merupakan ‘syarat objektif’ yaitu
menyangkut objek dan isi kontrak. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, kontrak tersebut ‘batal demi hukum.’[15]
D.
Asas-asas Kontrak
Henry P.
Panggabean menyatakan bahwa pengkajian asas-asas perjanjian memiliki peranan
penting untuk memahami berbagai undang-undang mengenai sahnya perjanjian.
Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih
mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
Nieuwenhuis
menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan ketentuan hukum (rechtsgels)
sebagai berikut:
1)
Asas-asas
hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu tidak hanya
mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan suatu
sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas;
2)
Asas-asas
itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and balance. Asas-asas ini
sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya menjadi merupakan
rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh karena menunjuk ke arah yang
berlawanan, maka asas-asas itu saling kekang mengekang, sehingga ada
keseimbangan.
Sistem
pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata memiliki
karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts atau optional
law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau tidak
menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut. Di
dalam perjanjian, para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari
ketentuan Buku III KUHPerdata.
Hukum
perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian untuk melakukan
perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu. Sehubungan dengan itu Pasal
1338 KUHPerdata menyatakan:
1)
Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya;
2)
Perjanjian
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah pihak
atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu; dan
3)
Perjanjian
tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Ada beberapa
asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut:
1.
Asas
konsensualisme;
2.
Asas
facta sunt servanda;
3.
Asas
kebebasan berkontrak; dan
4.
Asas
iktikad baik.
Sudikno Mertokusumo mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat dirinci
sebagai berikut:[16]
1.
Asas
konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya
suatu perjanjian);
2.
Asas
kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian;
dan
3.
Asas
kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).
Asas yang sama juga dikemukakan Ridwan Khairandy. Menurut Ridwan
hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu
dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:[17]
1.
Asas
konsensualisme (the principle of consensualism);
2.
Asas
kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
3.
Asas
kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
Berbeda dengan uraian di atas, Nieuwenhuis mengajukan tiga asas
perjanjian yang lain, yakni:
1.
asas
otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka pilih
(asas kemauan bebas);
2.
asas
kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dari perjanjian itu,
yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik); dan
3.
asas
kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu
perjanjian untuk tunduk pada ketentuan
hukum (rechtsregel) yang telah ada, walaupun ada kebebasan berkontrak.
Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur asas-asas perjanjian tersebut
di atas, Nieuwenhuis memberikan penjelasan sebagai berikut:[18]
1)
hubungan
antara kebebasan berkontrak dan asas otonomi berada dalam keadaan bahwa asas
otonomi mensyaratkan adanya kebebasan mengikat perjanjian; dan
2)
perbedaannya
adalah menyangkut pembenaran dari keterikatan kontraktual, asas otonomi
memainkan peranan dalam pembenaran mengenai ada tidaknya keterikatan kontraktual.
Suatu kekurangan dalam otonomi (tiadanya persetujuan (toesteming),misbruik
omstandigheiden) digunakan sebagai dasar untuk pembenaran ketiadaan dan keterikatan
kontraktual.
Menurut Henry
P. Pangabean, perkembangan hukum perjanjian, misalnya dapat dilihat dari
berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk Wetboek atau BW (Baru) Negeri Belanda.
Perkembangan itu justeru menyangkut penerapan asas-asas hukum perjanjian yang
dikaitkan dengan praktik peradilan.[19]
Asas kebebasan
berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan
yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata,
khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan
berkontrak.[50] Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak
lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata merupakan
hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
Dengan
asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru
yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian
Bernama yang diatur oleh undang-undang.[20]
Sutan Remy
Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:
1)
kebebasan
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)
kebebasan
untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
3)
kebebasan
untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
4)
kebebasan
untuk menentukan objek suatu perjanjian;
5)
kebebasan
untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
6)
kebebasan
untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional
(aanvullen, optional).
Berikut bentuk-bentuk dari asas kontrak yaitu:
1.
Asas
kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku
juga dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki
ruang lingkup yang sama. [21]
Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan,
bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai
undang-undang.
Menurut
sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian
pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai
dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang
juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang
diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang.
Hukum Romawi
sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak. Menurut Hukum Romawi, untuk
membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak
saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa-menyewa,
persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain
keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan
syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk
mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai
dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda
(re).
Jadi,
konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk terjadinya
perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut telah terjadi dalam
Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap perjanjian meskipun tanpa bentuk
tertentu adalah mengikat para pihak, yang disokong oleh moral agama Nasrani
yang menghendaki bahwa kata-kata yang telah diucapkan tetap dilaksanakan. Dengan
demikian kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum Kanonik.[22]
Dalam
perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan,
karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi
tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal
tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi
tawar yang betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar
yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang
demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam
perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara
seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan
untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pasal 1320
KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui
pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi kondisi:
1)
adanya
persetujuan atau kata sepakat para pihak;
2)
kecakapan
untuk membuat perjanjian;
3)
adanya
objek tertentu; dan
4)
ada
kausa hukum yang halal.
Di
negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui
peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian Indonesia juga
membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum,
dan kesusilaan. Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam
perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat
beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak,
yakni:[23]
1)
makin
berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada
saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat;
dan
2)
makin
berkembangnya ajaran penyalahgunaan
keadaan dalam kontrak (misbruik van omstandigheden, undue influence).
Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat
membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam
bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di
sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi
perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang
ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu
merupakan mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan
membuat ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan
penipuan yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian.[24]
Contoh dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi
kebebasan berkontrak adalah Undang-Undang Konsumen.
2.
Asas
Konsensualisme
Perjanjian
harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika
ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat
perjanjian tersebut.
Berdasarkan
asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah
bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat
kontrak.
3.
Asas
Kekuatan Mengikatnya Kontrak
Dasar teoritik
mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya dianut di negara-negara civil
law dipengaruhi oleh hukum Kanonik. Hukum Kanonik dimulai dari disiplin
penitisial bahwa setiap janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsip
pacta sunt servanda. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat
sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya.
Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi,
ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut
menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut
dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara
bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang
menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata
sepakat. Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang
(pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan
menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya
perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya
wajib ditaati.[25]
E.
Bentuk dan Jenis Kontrak
a.
Bentuk
Kontrak
Dalam praktik dikenal tiga bentuk kontrak yaitu:
1.
Standard
contract atau perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulnya
dibakukan dan dibuat dalam bentuk formulir. Dengan kata lain, perjanjian baku
tujuan utama standard contract ditujukan untuk kelancaran proses
perjanjian dengan mengutamakan efisiensi, ekonomis, dan praktis. Tujuan
khususnya, yaitu untuk keuntungan satu pihak, untuk melindungi kemungkinan
kerugian akibat perbuatan debitur serta menjamin kepastian hukum.
2.
Kontrak
bebas, dasar hukum kebebasan berkontrak ini yaitu pasal 1338 KUH-Perdata.
Namun, mengingat KUH-Perdata pasal 1338 ayat (3) mengenai asas keadilan dan
KUH-Perdata pasal 1339 tentang kepatutan, kebiasaan serta undang-undang , maka
pada prinsipnya kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan asas
kepatutan, kebiasaan, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Kontrak
tertulis dan tidak tertulis. Dalam praktik, khusunya dalam kontrak dagang
selalu dibuat dalam bentuk tertulis karena kontrak tertulis dapat dijadikan
alat bukti bahwa telah terjadi suatu persetujuan para pihak.
b.
Jenis
Kontrak
Selanjutnya, mengenai jenis kontrak, secara umum suatu kontrak baik
dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis terbagi atas beberapa jenis, antara
lain ialah:
1)
Perjanjian
timbal balik (misalnya perjanjian jual beli, dan sewa-menyewa)
2)
Perjanjian
Cuma-Cuma (misalnya perjanjian hibah)
3)
Perjanjian
atas beban (prestasi sebelah pihak)
4)
Perjanjian
bernama (diberi nama oleh peraturn perundang-undangan hukum perdata dan dagang,
misalnya pinjam pakai, pertanggungan, penitipan barang)
5)
Perjanjian
tidak bernama (misalnya perjanjian keagenan, perjanjian ditributor, perjanjian
pembiayaan, seperti sewa guna usaha/leasing, anjak piutang, modal ventura,
kartu kredit, dan lain-lain)
6)
Perjanjian
campuran (contractus sui generis) misalnya perjanjian pendirian pabrik
pupuk dan diikuti dengan perjanjian jual beli mesin pupuk sert perjanjian
perbantuan teknik dan/atau tenaga ahli
7)
Perjanjian
konsensualitas.
F.
Perkembangan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Suatu
perkembangan yang penting dalam teori hukum adalah mengenai pengertian melawan
hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH-Perdata. Semula pengertian melawan hukum
hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang
saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasusnya yang terkenal Lindenbaummelawan
Cohen memperluas pengertian melawan hukum sebagai perbuatan yang melanggar
undang-undang kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara
sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.
Pada pemeriksaan di tingkat Kasasi Hoge Raad merumuskan pengertian
melawan hukum sebagai berikut:
Setiap
perbuatan atau tidak berbuat yang:
1.
Melanggar
hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan undang-undang)
2.
Bertentangan
dengan kewajiban hukum sipelaku (kewajiban yang ditentukan undang-undang); atau
3.
Bertentangan
dengan tata asusila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan
kehati-hatian yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan dengan
sesama warga masyrakat atau terhadap harta benda orang lain.[26]
G.
Pengertian
Wanprestasi
a.
Prestasi
Prestasi
merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan.[27]
Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban memenuhi
prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability),
artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan
hutangnya kepada kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUHPerdata, semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya
terhadap kreditur, jaminan semacam ini disebut jaminan umum.[28]Pada
prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat dibatasi
sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang disebutkan
secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat menetapkan
batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta kekayaan
yang dibatasi ini disebut jaminan khusus.[29]
Artinya jaminan khusus itu hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya
sepadan dengan nilai hutangdebitur, misalnya
rumah,kendaraan bermotor. Bila debitur tidak dapat memenuhi prestasinya maka
benda yang menjadi jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan untuk memenuhi
hutang debitur.
Prestasi merupakan sebuah
esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti
dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat
tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus
diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :[30]
1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
2. Harus mungkin
3. Harus diperbolehkan (halal)
4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur
5. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan
b.
Wanprestasi
Semua subjek
hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat suatu persetujuan yang
menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang membuat persetujuan tersebut.
Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian tersebut sebagai mana yang diatur di dalam pasal 1338 KUH Perdata.
Di dalam
perjanjian selalu ada dua subjek yaitu pihak yang berkewajiban untuk
melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi. Didalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat
oleh para pihak tidak jarang pula debitur (nsabah) lalai melaksanakan
kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan
seluruh prestasinya, hal ini disebut wanprestasi.
Wanprestasi berasal dari
istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak
dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak
tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu
perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.[31]
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat
keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk
wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana
yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di
berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain
sebagainya. Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini,
telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada
beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi
pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.
Dr. Wirjono
Prodjodikoro SH, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi
didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi
dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa
Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan
pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.[32]
Prof. R. Subekti, SH,
mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat
berupa 4 macam yaitu:
1.
Tidak
melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2.
Melaksanakan
apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.
3.
Melakukan
apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
4.
Selakukan
suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.[33]
Mariam Darus Badrulzaman SH,
mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa
yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena
salahnya sangat penting, oleh karena dabitur tidak melaksanakan prestasi yang
diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.[34]
Menurut M.Yahya
Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan
kewajuban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan tidask selayaknya.[35] Hal ini
mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memnuhi atau tidak melaksanakan
isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang
telah melanggar isi perjajiab tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi.
Dari uraian
tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu
pengertian yang mengatakan bahwa seorang diakatakan melakukan wanprestasi
bilamana : “tidak memberikan prestasi sama sekali, telamabat memberikan
prestasi, melakukan prestsi tidak menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam
pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian
adalah sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu
perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat
terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu
sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk menepati
janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.
Dengan demikian bahwa dalam
setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur
dalam setiap perjanjian. Prests merupakan isi dari suatu perjanjian, pabila
debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perjanjian maka dikatakan wanprestasi. Wanprestasi memberikan akibat hukum
terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak
pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak
pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pembahasan dari Rumusan Masalah
1.
Pihak-pihak
yang Terlibat dalam Kasus dan Faktor
yang Menyebabkan dilayangkannya Gugatan Kepada Bank Danamon
Dalam masalah ini, terdiri dari 3 pihak yaitu:
·
Pihak
penggugat ialah Deddy Mahendra Desta
·
Pihak
yang tergugat yaitu Bank Danamon
·
Kuasa
hukum dari pihak Desta ialah Harvardy M Iqbal
Pelanggaran
kontrak Bank Danamon yang sudah 2 tahun 8 bulan menayangkan iklan tanpa ada
royalti untuk Desta. Akibat pelanggaran kontrak tersebut, kliennya mengaku rugi
hingga miliaran rupiah. Hal tersebut sudah masuk kedalam hukum sehubung dengan
KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu
karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.
Faktor lain
yang menyebabkan adanya kasus tersebut yaitu pihak Desta melayangkan gugatan
dan somasi kepada Bank Danamon yang akhirnya berujung pada ranah hukum Perdata.
2.
Awal
Terjadinya Kasus Pelanggaran kontrak Antara Bank Danamon dengan Desta
Awalnya Bank
Danamon melakukan kontrak kerja dengan Deddy Mahendra Desta atau biasa disapa
Desta. Kontrak tersebut berupa pembuatan sebuah iklan untuk mengiklankan Bank
Danamon yang dibintangi oleh Desta, kontrak tersebut berjangka waktu dari tahun
2010 hingga berakhir dipertengahan tahun 2012. Selama periode kontrak tersebut
pihak danamon masih bersikap prestasi. Namun setelah kontrak tersebut selesai
Bank Danamon melanggar kontrak yang telah disepakati dengan Desta.
3.
Keabsahaan
Kontrak Bank Danamon dengan Desta
Kontrak
tersebut sudah sah secara hukum karena sudah terpenuhi syarat sahnya kontrak
dan kedua pihak telah sepakat dalam pengadaan kontrak kerja tersebut. Detil
kontrak secara jelasnya kurang diketahui karena keterbatasan informasi, namun
dalam pandangan hukum kontrak pada intinya kedua pihak tersebut telah
menyelesaikan kontrak secara prestasi.
4.
Pengaruh
Gugatan Kepada Bank Danamon
Akibat dari
pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh Bank Danamon menjadikan Bank Danamon
dibawa ke pengadilan untuk ditindak lanjut agar masalah tersebut menemui titik
terang.
Head
of Public Affairs Danamon Zsa Zsa Yusharyahya mengatakan, terkait dengan
gugatan yang diajukan oleh Desta kepada Danamon, saat ini proses hukum mengenai
gugatan tersebut sedang berjalan.
"Danamon
menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Apabila sudah ada putusan yang
memiliki kekuatan hukum tetap, Danamon akan patuh terhadap keputusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap," katanya.
5.
Jalannya
Persidangan Antara Penggugat dan Tergugat
Setelah pihak
Bank Danamon menerima gugatan tersebut dan bersedia untuk menuntaskan kasus
pelanggaran kontrak Sidang perdata pun berjalan kurang lebih 1 jam dengan agenda
pemanggilan tergugat. Namun sidang ditunda hingga 24 Juni 2015 untuk mediasi
dan melengkapi surat kuasa dari Bank Danamon.
Harvardy
mengatakan,"Tadi cuma perwakilan dari Danamon. Dan butuh waktu sampai 24
Juni karena birokrasinya panjang. Dan mereka harus lengkapi surat kuasa
juga,"
B.
Hasil Pengadilan
Berdasarkan
dari hasil pengadilan masalah tersebut belum terselesaikan karena sidang
ditunda hingga 24 Juni 2015 untuk mediasi dan melengkapi surat kuasa dari Bank
Danamon. Namun berdasarkan pandangan penulis dari permasalah pelanggaran
kontrak tersebut mengacu pada KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian
tersebut. hasil akhir dari kasus tersebut yaitu Bank Danamon menghormati proses
hukum yang sedang berjalan. Apabila sudah ada putusan yang memiliki kekuatan
hukum tetap, Danamon akan patuh terhadap keputusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap. Maka dari itu kasus ini diselesaikan dengan
membayar ganti rugi kepada Desta.
C.
Pandangan Penulis
Berdasarkan
pengamatan atau pandangan penulis kasus ini berawal dari kontrak yang prestasi
menjadi wanprestasi karen pihak debitur melanggar kontrak tanpa kreditur.
Pelanggaran tersebut berupa penyiaran iklan yang dibintangi oleh kreditur yang
masih disiarkan walau masa penyiarannya sudah habis.oleh karena itu, kreditur
berhak menuntut berdasarkan KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.
dan juga KUH-Perdata Bab IV pasal 1243,
penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu , atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Maka
berdasarkan landasan hukum diatas, pihak Bank Danamon wajib membayar uang ganti
rugi sebesar Rp.1,6 miliar yang telah dituntut oleh kreditur. Kebenaran
kreditur sudah valid jika dilihat dari sudut pandang hukum. Walaupun dalam
kontrak awal antara kedua pihak tersebut sudah sah secara hukum dan telah
berakhir namun apabila ada pelanggaran dari isi kontrak tersebut dapat dituntut
karena telah inkar janji.
Penyelesaian kasus tersebut akan selesai dengan 3 cara:
1.
Pihak
tergugat membayar semua tuntutan penggugat
2.
Dengan
jalan mediasi
3.
Terakhir
yaitu membawa kasus itu ke pengadilan sampai kasus tersebut selesai.
BAB IV
KESIMPULAN
Hukum
merupakan suatu kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia.
Namun jika suatu hukum itu dilanggar maka bagi pelanggar hukum akan dikenakan
sanksi atas ketidakpatuhannya terhadap hukum yang berlaku dalam negara
tersebut.
Tidak semua pelanggar hukum akan dikenai sanksi apabila belum cakap
hukum, karena sifat hukum itu sendiri mengikat warga negaranya berdasarkan
syarat-syarat yang telah diatur dan disepakati.
DAFTAR PUSTAKA
A.G. Guest, (ed), Anson’s
Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1979.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku
II, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995.
M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, 1982.
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan
Ke-7, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2007.
R. Subekti, Hukum
Perjanjian, Cet ke-IV Jakarta, 1979.
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,
Gramedia, Jakarta: 2006.
Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan
Kontrak,” Cet. II, Jakarta, Sinar Grafika, 2004.
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999.
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, edisi
1, kencana, Jakarta: 2004.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut
Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta: 2006.
YLBHI, PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, cetakan
ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009.
[1] YLBHI
dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, cetakan ke-1, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta: 2009, hlm 2
[2] Syahmin
AK, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:
2006, hlm, 1
[3] Salim
H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3
[4] Subekti
, “Hukum Perjanjian,” Cet. XII, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hal. 1
[6] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari
Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 146.
[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum,
Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 110
[8] Lihat A.G. Guest, loc. cit.
[9] Ibid, hlm 24
[10] Ibid, hlm 28-30
[11] Niniek
Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan Ke-7, PT. Rineka
Cipta, Jakarta: 2007, hlm, 330.
[12] Ibid
hlm 315
[13] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,
Jakarta, 1984, hlm 36.
[14] Ricardo
Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Gramedia, Jakarta: 2006,
hlm 21
[15] Syahmin
AK, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:
2006, hlm, 17
[16] Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan,
(Misbruik van Omstandigheden) sebagal Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian
(Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 7.
[17] Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan
Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004, hlm 27.
[18] Henry Panggabean, op.cit, hlm 8.
[20] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada
Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm 36.
[21] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm
[22] Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan
Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1986, hlm 4.
[23] Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan
Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004, hlm 3
[24] Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara
Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm 179.
[25] Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 27-29
[26]
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, edisi 1, kencana,
Jakarta: 2004, hlm 119-121
[28] Abdulkadir Muhammad, Op. cit,
hal 17.
[29] Ibid
[31] Ibid. Hal. 20
[32] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas
Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, hal 17.
[33] R.Subekti, Hukum perjanjian
Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hal 50 .
[34] R. Subekti, Hukum Perjanjian,
Cet ke-IV (Jakarta: Pembimbing Masa, 1979), Hal 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar