Senin, 27 Februari 2017

Aspek Hukum dalam Ekonomi

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II LANDASAN TEORITIS................................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................. 27      
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 28




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Permasalahan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia hidup dengan berinteraksi terhadap sesama.  Dari interaksi tersebut muncul hukum yang mengatur interaksi manusia, hukum tersebut  terbagi lagi menjadi beberapa bagian sesuai jenis aturan hukum yang mengaturnya. Kata hukum itu sendiri berasal dari bahasa Arab huk’mun, artinya menetapkan. Singkatnya, hukum diartikan sebagai peraturan atau undang-undang, kaidah dan ketentuan, serta keputusan pengadilan.[1]
Manusia yang berinteraksi sering membuat kesepakatan dalam setiap kegiatannya, contoh seperti kedua pihak berjanji akan melakukan sebuah persetujuan untuk menjalankan usaha ekonomi. Perjanjian itu sendiri ada yang terikat dengan hukum dan ada yang tidak. Jika suatu perjanjian yang telah terikat dengan hukum itu disepakati maka hal tersebut perlu dijalankan sesuai kesepakatan. Namun apabila kesepakatan yang telah terikat dengan hukum tersebut dilanggar dan dapat merugikan salah satu pihak yang bersepakat maka pihak yang melanggar akan dikenai hukukman yang berlaku. Seperti yang termaktub dalam KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.       
Dari uraian yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1.      Siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam kasus  dan Faktor apa yang menyebabkan dilayangkannya gugatan kepada Bank Danamon?
2.      Bagaimana  awal terjadinya kasus pelanggaran kontrak antara Bank Danamon dengan Desta?
3.      Bagaimana keabsahaan kontrak Bank Danamon dengan Desta?
4.      Apakah gugatan tersebut berpengaruh kepada Bank Danamon?
5.      Bagaimana Jalannya persidangan antara penggugat dan tergugat?

B.  Tujuan Penelitian

1.         Untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam kasus  dan Faktor apa yang menyebabkan dilayangkannya gugatan kepada Bank Danamon
2.         Untuk memahami awal terjadinya kasus pelanggaran kontrak antara Bank Danamon dengan Desta
3.         Untuk mengetahui keabsahaan kontrak Bank Danamon dengan Desta
4.         Untuk mengetahui gugatan tersebut berpengaruh kepada Bank Danamon
5.         Untuk mengetahui Jalannya persidangan antara penggugat dan tergugat
                           








BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Teori Para Pakar Hukum Mengenai Kasus Pelanggaran Kontrak
Sebelum diurai mengenai pelanggaran kontrak, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan pengertian kontrak terlebih dahulu. Oleh karena pengertian kontrak tidak dapat dipisahkan dengan uraian tentang pelanggaran kontrak. Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah ” Kaidah/ aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antar para pihak berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum untuk melaksanakan suatu prestasi/obyek perjanjian”. Pengaturan umum tentang kontrak diatur dalam KUH-Perdata buku III. Pengertian istilah kontrak atau persetujuan (contract or agreement) yang diatur dalam Buku III Bab Kedua KUH-Perdata (BW) indonesia, sama saja dengan pengertian perjanjian.[2] Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUH Perdata, yakni “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan.”
Pasal 1313 KUH-Perdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang lain atau lebih. Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan tersebut di bawah ini. Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih.” Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.
Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht.[3] Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[4] Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.
 Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian (agreement). Atas dasar itu, Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Janji sendiri merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu.[5] Orang terikat pada janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan kepada pihak lain dalam perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus dipenuhi.[6]
Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.[7] Berlainan dengan itu, di dalam berbagai definisi kontrak di dalam literatur hukum kontrak common law, kontrak itu berisi serangkaian janji, tetapi yang dimaksud dengan janji itu secara tegas dinyatakan adalah janji yang memiliki akibat hukum dan apabila dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut ke pengadilan.[8]
Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan hukum dapat mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena perbuatan manusia dan sebagai akibatnya timbul suatu perikatan, yakni adanya kewajiban untuk melakukan transaksi tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang dirugikan perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari perjanjian.[9]
J. Satrio juga membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hubungan perkawinan saja sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.[10]
B.     Perbedaan dan Persamaan dari Kontrak, Persetujuan, Perjanjian, dan Perikatan
Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan persetujuan, perikatan, perjanjian dan kontrak ada baiknya kami paparkan definisi masing-masing.
Definisi persetujuan dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUH-Perdata”). suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.[11]
Mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.[12]
Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian”  membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwaperjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Demikian menurut Subekti.
Berikut definisi Subekti mengenai perikatan:
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Adapun perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”[13]
Ricardo Simanjuntak dalam bukunya menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.[14]
Jadi, dari pendapat para pakar hukum tersebut di atas, persamaan yang dapat disimpulkan antara lain:
a.    persetujuan sama dengan perjanjian;
b.    baik persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak melibatkan setidaknya 2 (dua) pihak atau lebih.
c.    Dasar hukum persetujuan/perjanjian, perikatan maupun kontrak, mengacu pada KUHPerdata.
Mengenai perbedaannya, dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, kita dapat melihat perbedaannya adalah pada tahapan dan implikasinya.
Secara singkat, perjanjian/persetujuan menimbulkan perikatan. Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan konsekuensi hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Menurut Ricardo, sebelum memiliki konsekuensi hukum, suatu perjanjian tidak sama artinya dengan kontrak.
C.    Syarat Sahnya Kontrak
Suatu kontrak dianggap sah dan mengikat apabila kontrak itu telah memenuhi semua syarat seperti yang telah ditetapkan oleh Pasal 1320 KUH-Perdata, yaitu sebagai berikut.
1.      Sepakat Mereka yang Mengingatkan Dirinya
Syarat adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan maksudnya timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya unsur paksaan (pasal 1324 KUH-Perdata), unsur penipuan (pasal 1328 KUH-Perdata). Dan unsur kekeliruan (pasal 1322 KUH-Perdata). Jika terbukti bahwa kontrak tersebut dibuat atas dasar salah satu unsur tersebut, kontrak tersebut dapat dibatalkan.
2.      Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Pada saat menyusun suatu kontrak, para pihak secara hukum harus sudah dewasa atau cakap berbuat. Jika salah satu pihak belum dewasa, ia dapat diwakili oleh walinya. Namun, dalam praktik, kadang kala umur yang menjadi tolak ukur apakah seorang itu sudah dewasa atau belum dewasa tidak dicantumkan dalam komparasi naskah kontrak. Akan tetapi, usia para pihak jika tidak disebutkan, maka dapat diasumsikan bahwa para pihak sudah dewasa.
3.      Mengenai suatu Hal Tertentu (Objek Kontrak)
Secara yuridis setiap perjanjian/persetujuan/kontrak harus mencantumkan secara jelas dan tegas apa yang mejadi objeknya sebab bila tidak dibuat secara rinci, dapat menimbulkan ketidakpastian atau kekeliruan.
4.      Suatu Sebab yang Halal
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak yang telah memenuhi ketiga unsur di atas harus juga memuat alasan/sebab kenapa kontrak itu dibuat. Dengan kata lain, perlu secara jelas dan tegas dimuat mengapa kontrak itu dibuat. Misalnya sebagai berikut.
“bahwa pihak pertama (pemilik show room) telah mencarterkan kepada pihak kedua (pencarter) dan pihak kedua telah mencarter dari pihak pertama satu unit mobil jenis mini bus merek kijang, keluaran tahun 1998, warna hijau metalik.....”
Terhadap keempat syarat diatas, secara akademis dapat dikatakan bahwa syarat pertama dan kedua disebut ‘syarat subjektif,’ yaitu syarat yang menyangkut subjek hukum pembuat kontrak. Apabila kedua syarat ini dilanggar maka kontrak tersebut ‘dapat dimintakan pembatalan’ sementara itu, syarat ketiga dan keempat merupakan ‘syarat objektif’ yaitu menyangkut objek dan isi kontrak. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, kontrak tersebut ‘batal demi hukum.’[15]

D.    Asas-asas Kontrak
Henry P. Panggabean menyatakan bahwa pengkajian asas-asas perjanjian memiliki peranan penting untuk memahami berbagai undang-undang mengenai sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Nieuwenhuis menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan ketentuan hukum (rechtsgels) sebagai berikut:
1)    Asas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas;
2)    Asas-asas itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and balance. Asas-asas ini sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya menjadi merupakan rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh karena menunjuk ke arah yang berlawanan, maka asas-asas itu saling kekang mengekang, sehingga ada keseimbangan.
Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts atau optional law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut. Di dalam perjanjian, para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari ketentuan Buku III KUHPerdata.
Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian untuk melakukan perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu. Sehubungan dengan itu Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan:
1)   Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
2)   Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu; dan
3)   Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Ada beberapa asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut:
                  1.          Asas konsensualisme;
                  2.          Asas facta sunt servanda;
                  3.          Asas kebebasan berkontrak; dan
                  4.          Asas iktikad baik.

Sudikno Mertokusumo mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:[16]
1.    Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian);
2.    Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian; dan
3.    Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).

Asas yang sama juga dikemukakan Ridwan Khairandy. Menurut Ridwan hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:[17]
1.    Asas konsensualisme (the principle of  consensualism);
2.    Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
3.    Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).

Berbeda dengan uraian di atas, Nieuwenhuis mengajukan tiga asas perjanjian yang lain, yakni:
1.    asas otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka pilih (asas kemauan bebas);
2.    asas kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dari perjanjian itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik); dan
3.    asas kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu perjanjian  untuk tunduk pada ketentuan hukum (rechtsregel) yang telah ada, walaupun ada kebebasan berkontrak.

Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur asas-asas perjanjian tersebut di atas, Nieuwenhuis memberikan penjelasan sebagai berikut:[18]
1)   hubungan antara kebebasan berkontrak dan asas otonomi berada dalam keadaan bahwa asas otonomi mensyaratkan adanya kebebasan mengikat perjanjian; dan
2)   perbedaannya adalah menyangkut pembenaran dari keterikatan kontraktual, asas otonomi memainkan peranan dalam pembenaran mengenai ada tidaknya keterikatan kontraktual. Suatu kekurangan dalam otonomi (tiadanya persetujuan (toesteming),misbruik omstandigheiden) digunakan sebagai dasar untuk pembenaran ketiadaan dan keterikatan kontraktual.
Menurut Henry P. Pangabean, perkembangan hukum perjanjian, misalnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk Wetboek atau BW (Baru) Negeri Belanda. Perkembangan itu justeru menyangkut penerapan asas-asas hukum perjanjian yang dikaitkan dengan praktik peradilan.[19]
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.[50] Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.[20]
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:
1)   kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)   kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
3)   kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
4)   kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
5)   kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
6)   kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Berikut bentuk-bentuk dari asas kontrak yaitu:

1.      Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama. [21]
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang.
Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak. Menurut Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda (re).
Jadi, konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk terjadinya perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut telah terjadi dalam Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap perjanjian meskipun tanpa bentuk tertentu adalah mengikat para pihak, yang disokong oleh moral agama Nasrani yang menghendaki bahwa kata-kata yang telah diucapkan tetap dilaksanakan. Dengan demikian kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum Kanonik.[22]
Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi kondisi:
1)   adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;
2)   kecakapan untuk membuat perjanjian;
3)   adanya objek tertentu; dan
4)   ada kausa hukum yang halal.
Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni:[23]
1)   makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan
2)   makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan  keadaan dalam kontrak (misbruik van omstandigheden, undue influence).

Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian.[24] Contoh dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi kebebasan berkontrak adalah Undang-Undang Konsumen.

2.    Asas Konsensualisme
Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
3.    Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak
Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya dianut di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum Kanonik. Hukum Kanonik dimulai dari disiplin penitisial bahwa setiap janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsip pacta sunt servanda. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya.
Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat. Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.[25]
E.     Bentuk dan Jenis Kontrak
a.     Bentuk Kontrak
Dalam praktik dikenal tiga bentuk kontrak yaitu:
1.         Standard contract atau perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulnya dibakukan dan dibuat dalam bentuk formulir. Dengan kata lain, perjanjian baku tujuan utama standard contract ditujukan untuk kelancaran proses perjanjian dengan mengutamakan efisiensi, ekonomis, dan praktis. Tujuan khususnya, yaitu untuk keuntungan satu pihak, untuk melindungi kemungkinan kerugian akibat perbuatan debitur serta menjamin kepastian hukum.
2.         Kontrak bebas, dasar hukum kebebasan berkontrak ini yaitu pasal 1338 KUH-Perdata. Namun, mengingat KUH-Perdata pasal 1338 ayat (3) mengenai asas keadilan dan KUH-Perdata pasal 1339 tentang kepatutan, kebiasaan serta undang-undang , maka pada prinsipnya kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan asas kepatutan, kebiasaan, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.         Kontrak tertulis dan tidak tertulis. Dalam praktik, khusunya dalam kontrak dagang selalu dibuat dalam bentuk tertulis karena kontrak tertulis dapat dijadikan alat bukti bahwa telah terjadi suatu persetujuan para pihak.
b.    Jenis Kontrak
Selanjutnya, mengenai jenis kontrak, secara umum suatu kontrak baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis terbagi atas beberapa jenis, antara lain ialah:
1)        Perjanjian timbal balik (misalnya perjanjian jual beli, dan sewa-menyewa)
2)        Perjanjian Cuma-Cuma (misalnya perjanjian hibah)
3)        Perjanjian atas beban (prestasi sebelah pihak)
4)        Perjanjian bernama (diberi nama oleh peraturn perundang-undangan hukum perdata dan dagang, misalnya pinjam pakai, pertanggungan, penitipan barang)
5)        Perjanjian tidak bernama (misalnya perjanjian keagenan, perjanjian ditributor, perjanjian pembiayaan, seperti sewa guna usaha/leasing, anjak piutang, modal ventura, kartu kredit, dan lain-lain)
6)        Perjanjian campuran (contractus sui generis) misalnya perjanjian pendirian pabrik pupuk dan diikuti dengan perjanjian jual beli mesin pupuk sert perjanjian perbantuan teknik dan/atau tenaga ahli
7)        Perjanjian konsensualitas.

F.     Perkembangan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Suatu perkembangan yang penting dalam teori hukum adalah mengenai pengertian melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH-Perdata. Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasusnya yang terkenal Lindenbaummelawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.
Pada pemeriksaan di tingkat Kasasi Hoge Raad merumuskan pengertian melawan hukum sebagai berikut:
                   Setiap perbuatan atau tidak berbuat yang:
1.    Melanggar hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan undang-undang)
2.    Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku (kewajiban yang ditentukan undang-undang); atau
3.    Bertentangan dengan tata asusila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyrakat atau terhadap harta benda orang lain.[26]
G.    Pengertian Wanprestasi

a.    Prestasi

Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan.[27] Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur, jaminan semacam ini disebut jaminan umum.[28]Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus.[29] Artinya jaminan khusus itu hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai hutangdebitur, misalnya rumah,kendaraan bermotor. Bila debitur tidak dapat memenuhi prestasinya maka benda yang menjadi jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan untuk memenuhi hutang debitur.

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :[30]
1.    Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
2.    Harus mungkin
3.    Harus diperbolehkan (halal)
4.    Harus ada manfaatnya bagi kreditur
5.    Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan

b.    Wanprestasi
Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat suatu persetujuan yang menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang membuat persetujuan tersebut. Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut sebagai mana yang diatur di dalam pasal 1338 KUH Perdata.
Di dalam perjanjian selalu ada dua subjek yaitu pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi. Didalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tidak jarang pula debitur (nsabah) lalai melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal ini disebut wanprestasi.
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.[31] Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”.  Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.

Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.[32]
Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
1.      Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2.      Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.
3.      Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
4.      Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.[33]

Mariam Darus Badrulzaman SH, mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena dabitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.[34]
Menurut M.Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajuban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan tidask selayaknya.[35] Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memnuhi atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah melanggar isi perjajiab tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi.
Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang diakatakan melakukan wanprestasi bilamana : “tidak memberikan prestasi sama sekali, telamabat memberikan prestasi, melakukan prestsi tidak menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.
Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prests merupakan isi dari suatu perjanjian, pabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi. Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.


BAB III
PEMBAHASAN

A.      Pembahasan dari Rumusan Masalah

1.    Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kasus  dan Faktor yang Menyebabkan dilayangkannya Gugatan Kepada Bank Danamon
Dalam masalah ini, terdiri dari 3 pihak yaitu:
·         Pihak penggugat ialah Deddy Mahendra Desta
·         Pihak yang tergugat yaitu Bank Danamon
·         Kuasa hukum dari pihak Desta ialah Harvardy M Iqbal
Pelanggaran kontrak Bank Danamon yang sudah 2 tahun 8 bulan menayangkan iklan tanpa ada royalti untuk Desta. Akibat pelanggaran kontrak tersebut, kliennya mengaku rugi hingga miliaran rupiah. Hal tersebut sudah masuk kedalam hukum sehubung dengan KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan adanya kasus tersebut yaitu pihak Desta melayangkan gugatan dan somasi kepada Bank Danamon yang akhirnya berujung pada ranah hukum Perdata.
2.    Awal Terjadinya Kasus Pelanggaran kontrak Antara Bank Danamon dengan Desta
Awalnya Bank Danamon melakukan kontrak kerja dengan Deddy Mahendra Desta atau biasa disapa Desta. Kontrak tersebut berupa pembuatan sebuah iklan untuk mengiklankan Bank Danamon yang dibintangi oleh Desta, kontrak tersebut berjangka waktu dari tahun 2010 hingga berakhir dipertengahan tahun 2012. Selama periode kontrak tersebut pihak danamon masih bersikap prestasi. Namun setelah kontrak tersebut selesai Bank Danamon melanggar kontrak yang telah disepakati dengan Desta.
3.    Keabsahaan Kontrak Bank Danamon dengan Desta
Kontrak tersebut sudah sah secara hukum karena sudah terpenuhi syarat sahnya kontrak dan kedua pihak telah sepakat dalam pengadaan kontrak kerja tersebut. Detil kontrak secara jelasnya kurang diketahui karena keterbatasan informasi, namun dalam pandangan hukum kontrak pada intinya kedua pihak tersebut telah menyelesaikan kontrak secara prestasi.
4.    Pengaruh Gugatan Kepada Bank Danamon
Akibat dari pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh Bank Danamon menjadikan Bank Danamon dibawa ke pengadilan untuk ditindak lanjut agar masalah tersebut menemui titik terang.
Head of Public Affairs Danamon Zsa Zsa Yusharyahya mengatakan, terkait dengan gugatan yang diajukan oleh Desta kepada Danamon, saat ini proses hukum mengenai gugatan tersebut sedang berjalan.
"Danamon menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Apabila sudah ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, Danamon akan patuh terhadap keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap," katanya.
5.         Jalannya Persidangan Antara Penggugat dan Tergugat
Setelah pihak Bank Danamon menerima gugatan tersebut dan bersedia untuk menuntaskan kasus pelanggaran kontrak Sidang perdata pun berjalan kurang lebih 1 jam dengan agenda pemanggilan tergugat. Namun sidang ditunda hingga 24 Juni 2015 untuk mediasi dan melengkapi surat kuasa dari Bank Danamon.
Harvardy mengatakan,"Tadi cuma perwakilan dari Danamon. Dan butuh waktu sampai 24 Juni karena birokrasinya panjang. Dan mereka harus lengkapi surat kuasa juga,"
B.       Hasil Pengadilan
Berdasarkan dari hasil pengadilan masalah tersebut belum terselesaikan karena sidang ditunda hingga 24 Juni 2015 untuk mediasi dan melengkapi surat kuasa dari Bank Danamon. Namun berdasarkan pandangan penulis dari permasalah pelanggaran kontrak tersebut mengacu pada KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. hasil akhir dari kasus tersebut yaitu Bank Danamon menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Apabila sudah ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, Danamon akan patuh terhadap keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Maka dari itu kasus ini diselesaikan dengan membayar ganti rugi kepada Desta.
C.      Pandangan Penulis
Berdasarkan pengamatan atau pandangan penulis kasus ini berawal dari kontrak yang prestasi menjadi wanprestasi karen pihak debitur melanggar kontrak tanpa kreditur. Pelanggaran tersebut berupa penyiaran iklan yang dibintangi oleh kreditur yang masih disiarkan walau masa penyiarannya sudah habis.oleh karena itu, kreditur berhak menuntut berdasarkan KUH-Perdata Bab III Pasal 1365, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. dan juga KUH-Perdata  Bab IV pasal 1243, penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu , atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Maka berdasarkan landasan hukum diatas, pihak Bank Danamon wajib membayar uang ganti rugi sebesar Rp.1,6 miliar yang telah dituntut oleh kreditur. Kebenaran kreditur sudah valid jika dilihat dari sudut pandang hukum. Walaupun dalam kontrak awal antara kedua pihak tersebut sudah sah secara hukum dan telah berakhir namun apabila ada pelanggaran dari isi kontrak tersebut dapat dituntut karena telah inkar janji.
Penyelesaian kasus tersebut akan selesai dengan 3 cara:
1.    Pihak tergugat membayar semua tuntutan penggugat
2.    Dengan jalan mediasi
3.    Terakhir yaitu membawa kasus itu ke pengadilan sampai kasus tersebut selesai.















BAB IV
KESIMPULAN

Hukum merupakan suatu kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia. Namun jika suatu hukum itu dilanggar maka bagi pelanggar hukum akan dikenakan sanksi atas ketidakpatuhannya terhadap hukum yang berlaku dalam negara tersebut.
Tidak semua pelanggar hukum akan dikenai sanksi apabila belum cakap hukum, karena sifat hukum itu sendiri mengikat warga negaranya berdasarkan syarat-syarat yang telah diatur dan disepakati.














DAFTAR PUSTAKA

A.G. Guest, (ed), Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1979.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra               Aditya Bakti, Bandung, 1995.
M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, 1982.
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan Ke-7, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2007.
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet ke-IV Jakarta, 1979.
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Gramedia, Jakarta: 2006.
Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II, Jakarta, Sinar Grafika, 2004.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999.
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, edisi 1, kencana, Jakarta: 2004.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006.
YLBHI, PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009.





[1] YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2009, hlm 2
[2] Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hlm, 1
[3] Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3
[4] Subekti , “Hukum Perjanjian,” Cet. XII, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hal. 1
[5] A.G. Guest, (ed), Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1979, hlm 2
[6] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 146.
[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 110
[8] Lihat A.G. Guest, loc. cit.
[9] Ibid, hlm 24
[10] Ibid, hlm 28-30
[11] Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan Ke-7, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2007, hlm, 330.
[12] Ibid hlm 315
[13] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hlm 36.
[14] Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Gramedia, Jakarta: 2006, hlm 21
[15] Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hlm, 17
[16] Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden) sebagal Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 7.
[17] Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 27.
[18] Henry Panggabean, op.cit, hlm  8.
[19] Ibid, hlm 9.
[20] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm 36.
[21] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm
[22] Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hlm 4.
[23] Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 3
[24] Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm 179.
[25] Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 27-29
[26] Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, edisi 1, kencana, Jakarta: 2004, hlm 119-121
[27] Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, (Medan: FH USU,1970), hal 8.
[28] Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal 17.
[29] Ibid
[30] Ibid. Hal. 20.
[31] Ibid. Hal. 20
[32] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, hal 17.
[33] R.Subekti, Hukum perjanjian Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hal 50 .
[34] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet ke-IV (Jakarta: Pembimbing Masa, 1979), Hal 59.
[35] M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hal 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar